Produktif dalam Komunitas Lokal

Oleh: Timotius J

Pandemi ini kiranya menyadarkan semua kalangan akan pentingnya pemberdayaan komunitas lokal. Muara dari pemberdayaan adalah masyarakat lokal akan selalu siap dan mampu berdiri tegak di tengah pandemi. Pemberdayaan diarahkan pertama-tama untuk memastikan bahwa komunitas lokal tetap bisa produktif meskipun ruang gerak dan akses dengan komunitas global dibatasi. 

Pada mulanya, dunia berempati dengan penduduk Wuhan-Cina yang bergulat dengan Covid-19 yang mematikan. Kemudian, Cina memang berhasil mengendalikan penyebaran virus di negaranya dan Wuhan perlahan-lahan bangkit. Namun, dalam tempo yang relatif singkat, Covid-19 menyebar ke sudut-sudut belahan bumi. 

Covid-19 mengafirmasi bahwa globalisasi berwajah ganda. Tak dapat dipungkiri bahwa penyebaran virus yang cepat juga karena arus globalisasi. Keterbukaan akses dan mobilitas yang sibuk dari satu negara ke negara lain telah membentangkan karpet merah bagi penyebaran virus ini dari satu kawasan ke kawasan lain. Pada saat yang sama, ketika peradaban global terancam Covid-19, berbagai kalangan menyerukan solidaritas global untuk bersama-sama menghadapi serangan Covid-19.

Konektivitas yang melampaui sekat dan serentak menyatukan ruang-ruang di belahan bumi telah menjadikan dunia sebagai satu komunitas global. Berbarengan dengan menguatnya arus globalisasi sebagai suatu narasi besar, ada kecemasan bahwa komunitas lokal sebagai narasi kecil digilas dan dilahap oleh narasi besar. Mesti disadari bahwa globalisasi dapat juga menjadi ancaman bagi kelangsungan nilai-nilai yang dihidupi komunitas lokal.

Kini, dunia berhadapan dengan kenyataan bahwa krisis atau resesi yang terjadi dalam komunitas global kerap kali diikuti dampak sistemik yang memperburuk keadaan komunitas lokal. Apalagi, komunitas lokal yang kecil kerap kali tunduk pada arah yang dibangun oleh komunitas global. Terkait hal ini, dipertanyakan pemberdayaan komunitas lokal di era globalisasi ini, apakah sudah berjalan sehingga dapat menjamin bahwa komunitas lokal dapat bertahan di tengah badai global. Atau, komunitas lokal kini sudah tidak berdaya dan hanya bergantung pada komunitas global untuk bisa bertahan. 

Negara-negara kini sibuk merancang bagaimana memulihkan keterpurukan ekonomi. Sementara itu, Covid-19 juga mengingatkan kita bahwa ruang gerak dan akses antarkomunitas bisa saja dibatasi sewaktu-waktu. Hal yang perlu diperjuangkan adalah bagaimana memberdayakan komunitas lokal agar tetap bertahan di tengah gempuran risiko sistemik dari keberadaan dunia dewasa ini sebagai satu komunitas global. 

Ketika akses-akses untuk keluar masuk dibatasi untuk menghambat laju dan melindungi warga negara dari serangan Covid-19, bumi ini seakan berhenti bergerak. Sementara itu, dalam hal-hal tertentu hidup manusia sudah terpola untuk bisa eksis dalam keterbukaan dan mobilitas. Tidak heran, jika negara-negara mulai membuka akses, meskipun dengan risiko tinggi terjadinya gelombang baru  lonjakan kasus Covid-19.

Pada era globalisasi ini, pengembangan komunitas didasarkan pada kualitas karakter persahabatan manusia yang melampui batas teritorial dan geografis. Komunitas yang dibangun berorientasi pada ketertarikan dan keahlian tertentu dari pada seputar lokalitas sebagaimana dikemukan Gusfield (dalam McMillan dan Chavis, 1986: 8). Gagasan ini memang lebih fleksibel bila komunitas hanya dibatasi sebagai “masyarakat setempat”. Namun, bahaya akan muncul ketika mengabaikan komunitas sebagai kelompok sosial yang setiap anggotanya sadar akan keanggotaannya dalam kelompok tersebut untuk memproduksi dan mengekspresikan budayanya dengan ciri lokalitas tertentu.

Pandemi Covid-19 berdampak pada menurunnya produktivitas anak bangsa. Karena itu, sejak bulan April pemerintah sudah menyalurkan bantuan sosial dan juga telah diperpanjang hingga Desesember 2020.  Menteri Sosial, Juliari Batubara, dalam rapat kerja bersama komisi VIII DPR, Rabu (24/6/2020), melaporkan kenaikan anggaran bantuan sosial pemerintah dari Rp 62,8 triliun menjadi Rp 106,5 triliun. 

Anak bangsa memang tidak sepenuhnya bergantung pada bansos pemerintah. Sebagai contoh, pada bulan Mei lalu viral di media sosial seorang ibu di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, menolak bantuan sosial pemerintah dengan alasan masih mampu memenuhi kebutuhan di tengah pandemi Covid-19.

Pandemi ini kiranya menyadarkan semua kalangan akan pentingnya pemberdayaan komunitas lokal. Muara dari pemberdayaan adalah masyarakat lokal akan selalu siap dan mampu berdiri tegak di tengah pandemi. Pemberdayaan diarahkan pertama-tama untuk memastikan bahwa komunitas lokal tetap bisa produktif meskipun ruang gerak dan akses dengan komunitas global dibatasi. 

Setidaknya, warga komunitas lokal diberdayakan untuk memiliki keterampilan cadangan yang sewaktu-waktu berguna untuk bertahan hidup. Selain itu, perlu juga lembaga perbankan menggalakkan literasi keuangan hingga ke tingkat komunitas lokal agar budaya menabung menjadi bagian dari hidup warga komunitas lokal. 

Sebagai suatu sistem, keberlangsungan komunitas global mengandaikan komunitas-komunitas lokal dapat bersinergi satu dengan yang lain. Namun, penguatan jejaring dengan komunitas global tanpa pemberdayaan komunitas lokal justru akan membahayakan komunitas global. Membangun komunitas global yang kuat tanpa penguatan komunitas lokal akan melahirkan kepincangan. 

Memang pada era globalisasi ini, membangun komunitas lokal yang kuat juga tidak bisa tanpa dihubungkan dengan sistem global. Interkoneksi dan interdependensi harus bermuara pada penguatan komunitas lokal. Mendewakan komunitas global dengan mengabaikan pemberdayaan komunitas lokal adalah upaya menggali lubang kuburan bagi komunitas lokal. 


Covid-19, Menuju Peradaban Baru?

Oleh: Timotius J

Covid-19 mendorong proses humanisasi yang mesti menjamin manusia untuk mandiri dalam mengambil keputusan personal. 

Ziarah peradaban manusia kini terbentur tembok Covid-19. Dan, siapa pun tidak bisa lari dari kenyataan ini. Tentang kenyataan ini, ada yang menyejajarkan dengan situasi Perang Dunia II. Pada Perang Dunia II, manusia dihantui oleh bom. Kini, siapa pun dihantui terinfeksi Covid-19. Virus ini menyerang siapa pun tanpa pandang bulu sehingga semua orang tengah berada dalam bayang-bayang maut. Hingga kini, belum ada pihak yang berani mengklaim bahwa tembok itu dapat dilantakkan.

Derap Perdaban

Untuk kesekian kali, dunia dilanda bencana dahsyat. Ribuan nyawa telah melayang dalam waktu yang relatif singkat dan jutaan jiwa sudah terinfeksi. Entahkah di ujung pandemi ini akan lahir peradaban baru? Paling tidak, Covid-19 telah memberi warna tersendiri bagi manusia dalam beberapa aspek kehidupan.

Pertama, dunia menampilkan perkawinan antara globalisasi dengan digdaya digitalisasi. Bermula di Wuhan-Cina, Covid-19 sedemikian mudah menyebar ke sudut-sudut belahan bumi. Terbukanya sekat dan intensitas mobilitas yang tinggi memungkinkan virus ini dengan cepat menyebar dari satu ruang ke ruang yang lain. Tidak mengherankan, negara-negara terpaksa membatasi mobilitas dan menutup pintu masuk.

Di sisi lain, virus ini telah melanggengkan digdaya digitalisasi. Perangkat digital turut menentukan bagaimana anak zaman beraktivitas. Ketika ruang gerak fisik dibatasi untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, banyak hal yang dapat dikerjakan dengan mengandalkan berbagai kemudahan perangkat digital. Meskipun gerak fisik dibatasi, namun era digitalisasi telah memungkinkan setiap orang untuk bergerak lintas ruang. Bahkan, berbagai aplikasi dan fitur digital juga memberikan peluang-perluag baru dan menjadi tumpuan bagi upaya pencegahan penyebaran Covid-19. 

Kedua, iman sebagai keputusan personal. Dalam hidup beragama, ruang sakral yang megah dan luas kini lengang dan sepi. Kebaktian setiap agama beralih ke optimalisasi perangkat digital daripada menghadiri kebaktian bersama di rumah ibadah. Dari ruang terpisah dan jarak yang berjauhan, masing-masing pemeluk agama berjuang untuk tetap khusuk beribadah dan mendengarkan siraman rohani dari pemimpin agama dengan bantuan perangkat digital. Persekutuan tidak hanya sebatas kedekatan jasmani, tetapi lebih pada persekutuan dalam iman. 

Dalam situasi seperti, iman seseorang benar-benar menjadi keputusan personal. Iman adalah suatu perjuangan pribadi dalam ‘keterasingan’ dari yang lain. Orang berjuang untuk menguatkan imannya melalui usaha pribadi yang difasilitasi oleh perangkat digital. Hidup religius benar-benar menjadi pilihan dan penghayatan personal.

Ketiga, solidaritas model baru. Sebagai makhluk sosial, dunia seakan berada dalam paradoks. Menerima kehadiran yang lain, tetapi mesti menjaga jarak. Tampak, setiap orang ‘dipaksakan’ oleh Covid-19 untuk memisahkan diri dari yang lain. Meskipun jarak fisik dibatasi, tetapi semua terpanggil untuk solid dalam gerakan solidaritas melawan gempuran pandemi ini. 

Bisa jadi Covid-19 telah menjebak setiap pribadi dalam solidaritas yang dibayangi kecurigaan. Panggilan untuk bersama-sama berjuang dalam solidaritas yang sama dihantui kecemasan terinfeksi. Tentu, hal ini tidak akan terjadi kalau setiap orang dengan kesadaran penuh mengedepankan pola hidup sehat dan didukung oleh sistem kesehatan yang memadai.

Keempat, mendengar rintihan ibu bumi. Bumi sebagai ibu yang memberi kehidupan menderita karena campur tangan manusia. Menanggapi kenyataan bahwa bumi tidak lagi menjadi hunian yang nyaman, muncul beragam pandangan yang menjelaskan relasi antara manusia dengan alam. Paling tidak, pandangan ekologis berangkat dari kesadaran (a) alam sebagai korban dari keserakahan sehingga manusia mesti bertanggung jawab dan/atau (b) demi keberlanjutan hidup manusia sendiri alam mesti dirawat. 

Ketika Covid-19 memaksa manusia untuk berdiam diri di rumah, para pemerhati lingkungan mengabarkan bahwa keadaan lingkungan membaik. Meski dibarengi dengan kecemasan bahwa situasi ini akan berbalik ketika wabah ini berlalu, paling tidak wabah ini telah sedikit memulikan derita ibu bumi. 

Covid-19 mengingatkan bahwa gerak-gerik manusia mesti mempertimbangkan keselamatan bumi. Rekayasa ilmiah tidak sepenuhnya mampu menguasai alam. Intervensi manusia atas alam hanya bersifat sementara dan berhadapann dengan daya alam yang tak terkendali. Covid-19 membawa pesan bahwa kesanggupan akal budi manusia tidak sepenuhnya dapat menguasai alam. Maka, memposisikan diri sebagai tuan atas alam perlu dilihat kembali.

Menjaga Peradaban

Beberapa bulan belakangan, peradaban berada dalam bayang-bayang Covid-19. Pengalaman masa lalu menunjukkan, wabah selalu diikuti dengan perubahan peradaban. Hingga kini, masa depan peradaban pascawabah ini belum dapat diprediksi. Peradaban mesti terus berjalan, maka setiap orang mesti terus berkarya meskipun gerak-gerik fisik dibatasi pada ruang tertentu.

Manusia adalah persona yang sadar dan bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Manusia sendiri mesti menjamin bahwa peradaban tidak tergerus oleh Covid-19. Dengan mengoptimalkan berbagai kemudahan-kemudahan digital, setiap orang kiranya terus berkreasi untuk menjamin keberlanjutan peradaban.

Covid-19 mendorong proses humanisasi yang mesti menjamin manusia untuk mandiri dalam mengambil keputusan personal. Karena itu, sistem pendidikan harus memungkinkan generasi bangsa memiliki ketahanan personal. Anak-anak bangsa kiranya memiliki ketahanan personal yang kuat sehingga tetap berdiri tegak dan terus berkreasi di tengah bencana yang  terjadi.

Proses humanisasi akan dapat berjalan mana kala politisi memperjuangkan pilihan dan kebijakan yang memastikan ketahanan dan keselamatan bersama. Agenda-agenda politik mesti berpijak pada kesadaran bahwa politik bertujuan untuk memastikan setiap orang dapat bertahan dan hidup dalam berbagai dinamika peradaban termasuk ketika dilanda bencana.

Dalam menghadapi bencana dan wabah yang tak mudah diprediksi, negara tentu tidak gagap dalam mengambil keputusan sehingga semua warga negara tidak tenggelam dalam kekhawatiran. Selain itu, negara memastikan warganya memiliki ketahanan personal untuk melewati berbagai bencana. Ketika negara menyangsikan ketahanan warganya,  taruhannya adalah keberlanjutan peradaban bangsa. 

Akhirnya, meskipun tidak ada bukti bahwa Covid-19 merupakan hasil tak terduga dari rekayasa Iptek, bagaimanapun, para ilmuwan mesti terpanggil untuk memastikan bahwa peradaban tak akan dilumat habis oleh Covid-19. Negara dan warganya tentu menjamin dan mendukung pengabdian ilmuwan yang berjuang menjaga dan menyelamatkan peradaban dari gempuran bencana apa pun termasuk Covid-19. 


Berdamai dengan Pandemi

Oleh: Timotius J

Hidup damai dengan pandemi kiranya juga mendorong semua pihak untuk merancancang bagaimana bisa hidup produktif dalam komunitas kecil tanpa ada mobilitas yang tinggi. 

Sejarah peradaban merekam bahwa pandemi dari masa ke masa seakan mengafirmasi gagasan Heidegger tentang keberadaan manusia sebagai keterlemparan di tengah dunia. Betapa tidak, nyawa manusia sedemikian rapuh di hadapan virus yang muncul tak disangkakan. Kematian banyak dalam sejarah pandemi dari maasa ke masa antara lain, wabah Yustianus/pes (tahun 541), Black death (tahun 1346-1353), pandemi Flu/Flu Spanyol (tahun 1918), dan Pademik HIV/AIDS (tahun 1981-sekarang).  Catatan sejarah pandemi dari masa ke masa ini mengingatkan siapa saja bahwa hidup manusia sedemikian rentan dan tanpa kewaspadaan, nyawa menjadi taruhannya. 

Sudah berbulan-bulan dunia berjalan bersama covid-19. Hingga bulan Juni ini, belum ada yang berani memastikan virus ini akan berakhir. Bahwa para ilmuwan terus berjuang untuk memukan vaksin, namun di antara ilmuwan sendiri belum memberikan jawaban yang sama dan pasti. Juga, belum ada klaim bahwa virus ini akan segera berakhir.

Sejumlah negara sudah mengambil jalan lock down untuk memutus dan mengendalikan penyebaran virus ini. Bebeberapa negara mengklaim berhasil dan otoritas negara perlahan membuka kembali pintu untuk bisa beraktivitas seperti sediakala. Misalnya, Spanyol yang menerapkan karantina paling ketat di Eropa selama tiga bulan mencabut keadaan darurat hari Minggu (21/06) dan membuka perbatasan bagi pengunjung dari hampir semua negara Eropa, tanpa harus melakukan karantina.  Negara lain, Amerika Serikat, tidak menerapkan lock down meskipun tingkat penularan virus di negara terbilang tinggi, yakni 23.000 kasus Covid-19 dalam satu hari. 

Sayangnya, lock down tidak sepenuhnya mengenyahkan virus ini dari muka bumi. James Gallagher menulis di BBC bahwa negara yang diyakini mampu mengontrol wabah ini kini khawatir pada kemunculan gelombang kedua. Kemudian, ia juga mengingatkan bahwa secara teoritis, kasus positif pada gelombang kedua bisa lebih banyak daripada yang pertama karena saat ini begitu banyak orang masuk kategori rentan.  Bahwa beberapa negara sudah membuka pintu untuk kembali ke pola hidup yang normal, namu tidak berarti bahwa situasi benar-benar pulih seperti sebelum merebaknya pandemi ini. Wuhan, titik awal dan bermula virus ini ditemukan, dinilai berhasil menerapkan lock down dan kini sudah kembali ke aktivitas normal tetap dihantui kecemasan kembalinya serangan covid-19. Demikian juga, negara-negara lain melonggarkan akses dengan tetap memberlakukan protokol kesehatan dengan ketat. 

Republik tercinta, Indonesia, tidak menenerapkan lock down. Beberapa daerah yang mengusulkan dapat merapkan PSBB sesuai dengan tingkat penyebaran virus ini. Pascapemberlakukan PSBB, virus ini belum juga sirna dan bahkan dibeberapa beberapa daerah tertentu jumlah pasien Covid-19 justru meningkat. 

Publik mengomentari bahwa ‘kegagalan’ meredam laju virus ini lebih disebabkan oleh kehendak lemah dan minimnya komitmen bersama anak bangsa sendiri. Sementara itu, ada juga yang berdalih bahwa diam di rumah tidak dapat memenuhi harapan untuk tetap produktif. Maka, jalan yang ditempuh adalah berdamai dengan situasi dan tetap berjuang di tengah ancaman virus ini demi dapur tetap mengepul dan perut tetap terisi.

Tentu, apresiasi positif untuk mereka yang berjuang tak kenal lelah menyelamatkan nyawa yang sudah di ambang maut dan meredam laju penyebaran virus ini. Masyarakat awam juga tentu sudah berjuang untuk membatasi dan menentukan skala prioritas dalam mobilitas dan beraktivitas di luar rumah. Tidak sedikit juga masyarakat yang penuh tanggung jawab dan taat menerapkan pola hidup sesuai dengan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan. Demikian juga sistem di ruang publik yang ditata sedemikian untuk menjamin setiap orang terhidar dari bahaya maut.

Belakangan ini, otoritas negara memilih untuk bisa hidup berdamai dengan covid-19. Akses terhadap fasilitas publik mulai dibuka. Tentu, hal ini dibarengi dengan kesiapan masing-masing otoritas dalam menyiapkan dan menyesuaikan banyak aspek yang menunjang kehidupan untuk bisa berjalan berdampingan dengan covid-19. Selain itu, masyarakat biasa pun kiranya sudah memahami dan siap untuk hidup berdampingan dengan virus ini. 

Hidup damai dengan pandemi kiranya juga mendorong semua pihak untuk merancancang bagaimana bisa hidup produktif dalam komunitas kecil tanpa ada mobilitas yang tinggi. Selain itu, kebijakan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi mesti juga berpijak pada kebijakan jangka panjang dan keberlanjutan melalui penguatan masyarakat dan komunitas lokal. Dampak bencana atau pandemi dialami oleh individu dalam komunitas setempat, dalam ruang-teritorial tertentu. Dengan demikian, permberdayaan komunitas, entah itu parokial maupun sektoral mesti digiatkan sehingga masyarakat tetap produktif dan berdiri tegak meskipun mobilitas dibatasi dan pada saat yang sama akses pemenuhan kebutuhan dasar antar wilayah terputus. 


Beragama Di Tengah Pandemi Covid-19

Oleh: Timotius J

Pandemi (Covid-19) ini dapat menjebak setiap orang pada pesimisme dan fatalisme. Orang tidak lagi menjaga semangat juang dan tidak berani mencari peluang-peluang baru untuk mempertahankan hidup. Lalu, apakah umat beragama jatuh dalam hal yang sama ataukah mempromosikan optimisme untuk bisa keluar dari jebakan pandemi ini? Dalam situasi wabah, umat beragama tentu tidak kehilangan orientasi bagaimana beragama. 

Melampui Ritualisme - Menolak Ilusi 

Setelah sekian waktu umat beragama tidak menjalani ibadah bersama di tempat ibadah, kini ada kerinduan untuk kembali beribadah seperti semula. Sebagian umat beragama sudah melewati hari raya besar keagamaan yang dirayakan tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Umat Hindu baru saja melewati Hari Raya Nyepi yang dilaksanan sesuai arahan untuk membatasi kehadiran umat di tempat ibadah. Demikian pula, umat Kristen Katolik dan Kristen Protestan, telah melawati Hari Raya Paskah. Dan kini, umat Islam yang tengah menjalani masa puasa juga mengalami hal yang sama.

Di tengah pandemi Covid-19 yang belum bisa diprediksi kapan berakhir ini, kerinduan untuk kembali beribah bersama di tempat ibadah dapat dicermati dari dua hal. Pertama, agama merupakan tempat pelarian untuk mencari ketenangan di tengah kesulitan yang dihadapi dan serentak menjustifikasi ritualisme. Joakim Wachs mengetengahkan bahwa ritual agama merupakan salah aspek kunci dari setiap agama, selain pengalaman keigamaan, kepercayaan, dan komunitas kultis (dalam Koten, 2005: 27-35). Ketika orang berlari pada agama hanya untuk mendapat ketenangan batin semata, maka agama adalah ilusi sebagaimana pandangan Freud atau candu dalam pandangan Marx. 

Kedua, kerinduan tersebut adalah pertanda kedewasaan iman. Agama dan tempat ibadah bukan sebagai tempat pelarian untuk mencari ketenangan. Juga, kerinduan tersebut bukan karena otoritas agama memupuk rasa rindu pemeluk agama yang melanggengkan ritualisme. Dalam situasi pandemi ini, otoritas agama telah memberikan kelonggaran dalam melaksanakan ibadah atau ritual. Hal ini serentak mematahkan pendekatan reduksionis Freud bahwa agama sebagai amnesia kronis karena agama tidak hanya terpaku pada kelaziman dalam melaksanakan ritual. Praktik keagamaan adalah sesuatu yang rasional dan tanggap terhadap konteks pemeluknya. 

Beragama Lintas Batas

Di tengah wabah ini, umat beragama kiranya peka terhadap penderitaan yang dialami manusia. Berhadapan dengan penderitaan, umat beragama dapat menggumuli apakah wabah ini merupakan tanda bahwa janji Allah belum dipenuhi dan karena itu menggerakan umat beragama untuk menggumuli janji Allah dalam diri penderita? Atau, siapakah yang bertanggung jawab atas penderitaan itu apalagi terjadi di luar kendali manusia? Banyak hal yang bisa digumuli oleh umat beragama berhadapan dengan pengalaman penderitaan, termasuk pandemi Covid-19. Bagaimana pun, di hadapan penderitaan, umat beragama tidak boleh bungkam. 

Nilai dan pandangan masing-masing agama dapat menjadi pijakan dalam merawat peradaban dan menghantar para pemeluknya pada cara hidup yang baru. Dalil-dalil agama menjadi inspirasi  untuk gerakan bersama menumbuhkan optimisme di tengah wabah ini di mana iman pribadi diarahkan pada harpan akan masa depan yang memungkingkan semua bergerak dalam aksi solidaritas. 

Kini, refleksi teologi umat beragama bergerak dari titik yang sama, yakni pandemi Covid-19. Dalam konteks ini, agama-agama mesti mampu menumbuhkan semangat juang dan memiliki ketahanan personal untuk bersatu dalam nafas yang sama menghadapi masa depan dengan optimisme. Dalam gerakan bersama itu, agama harus mampu menjelaskan hidup beragama sebagai sumber inpirasi dalam perang melawan pandemi covid-19 mulai dari komunitas kecil sehingga memberikan aura positif bagi semua umat beragama. 

Agama bukanlah ilusi atau candu dan karena itu umat beragama hendaknya tindak melanggengkan ritualisme. Kerinduan beribadah kiranya dibarengi gerakan untuk bersama-sama dengan pihak terkait terlibat melawan musuh yang tidak kelihatan itu. Dalam situasi ini, umat beragama diharapkan untuk mencari dan meneguhkan iman dalam pencarian pribadi. Namun, iman yang personal itu mesti menjadi tanda solidaritas untuk optimis menatap hari esok di tengah penderitaan yang dialami saat ini.

Dalam konteks Negara Indonesia, agama-agama dengan caranya masing-masing telah mengambil jalan untuk mengatasi pandemi ini. Pemimpin agama telah merefleksikan situasi ini dengan meneguhkan iman umat dan serentak mengajak masing-masing pemeluk agama untuk bisa bersolider dalam melawan gempuran pandemi ini.  Agama-agama tentu menjalani aksi tertentu berpijak pada dalil masing-masing agama. Namun, paling tidak bahwa dalil-dalil itu bertemu pada titik yang sama yaitu semangat untuk melawan Covid-19 dengan menghentikan sementara ibadah yang dilaksanakan secara bersama-sama. 

Mungkinkah ada seruan bersama berangkat dari pandangan/pijakan teologi yang berbeda untuk kemudian bersatu dalam mempromosikan gerakan bersama agar umat beragama terlibat menggumuli pandemi ini.  Agama-gama bergandengan tangan dengan berbagai elemen yang turut berjuang mengatasi penderitaan yang dihadapi oleh umat beriman. Tentu, agama harus berada bersama meraka yang paling rentan untuk terjebak dalam kungkungan fatalisme, menyuarakan solidaritas, memperkuat optimisme dan menghalau pesimisme di tengah gempuran pandemi Covid-19 ini. 


Paroki Wae Kajong, Berjuang untuk Berdikari

 Oleh: Timotius J

Paroki Wae Kajong merupakan wilayah yang sangat potensial tambang mangan. Tidak mengherankan banyak investor yang masuk untuk mengeksplorasi dan bahkan mengeksploitasi potensi tambang.

Paroki yang Relatif Muda

Paroki St. Maria Immaculata Wae Kajong merupakan paroki yang relatif muda di Keuskupan Ruteng. Mgr. Eduardus Sangsun, SVD meresmikan paroki ini pada tanggal 8 Juni 2007 yang merupakan pemekaran dari Paroki Loce. Paroki ini berbatasan dengan Paroki Loce di sebelah Timur dan sebelah Selatan, Paroki Robek di sebelah Utara dan Paroki Pateng di sebelah Barat.

Mulanya, ada beberapa stasi yang bergabung dalam paroki baru ini, yaitu Stasi Kajong (kini menjadi pusat paroki), Stasi Wae Wua (9 KBG), Stasi Tureng (5 KBG), Stasi Wangkal (6 KBG), Stasi Nggalak (5 KBG), dan Stasi Lante (9 KBG). Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, pada masa Rm. Egis, Stasi Kajong dimekarkan menjadi dua stasi, yaitu Stasi Pusat Kajong dan Stasi Wae Ara (6 KBG). Selain itu, stasi pusat dibagi ke dalam empat wilayah, Wilayah St. Petrus (3 KBG), Wilayah St. Paulus (3 KBG), Wilayah St. Ignasius (2 KBG) dan Wilayah St. Agustinus (2 KBG).

Hingga kini Paroki St. Maria Immaculata Wae Kajong memiliki enam stasi dan pusat paroki dibagi ke dalam empat wilayah dan jumlah KBG sebanyak 57. Jumlah umat menurut hasil sensus pastoral 2013 sebanyak 5.532 jiwa dengan Kepala Keluarga berjumlah 1.254, janda sebanyak 62 orang dan Orang Muda Katolik sebanyak 201 orang.

Mata pencaharian sebagaian besar umat adalah bertani. Setiap kepala keluarga memiliki lahan pertanian yang cukup. Lahan-lahan yang ada ditanami tanaman jangka pendek dan panjang. Hasil pertanian yang menonjol adalah padi, kacang-kacangan dan kemiri. Sumber pendapatan lain adalah peternakan, terutama sapi.

Di setiap stasi, masing-masing ada satu sekolah dasar dan di pusat paroki ada satu SMP Negeri. Untuk mengenyam pendidikan tingkat menengah atas dan pendidikan tinggi, anak-anak dari paroki ini menempuhnya di luar paroki.

Kesadaran untuk mengenyam pendidikan sangat bagus. Setiap keluarga berjuang untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Paroki pun memiliki perhatian besar untuk pendidikan anak-anak paroki dengan menyediakan asrama bagi anak-anak Sekolah Menengah Pertama. Bentuk dukungan lain dari paroki adalah dengan menerima kunjungan perkumpulan pelajar paroki yang mengenyam pendidikan di luar paroki.

Dalam lingkup Paroki St. Maria Immaculata Wae Kajong, ada delapan hak ulayat (gendang), yaitu Kajong, Munta, Tureng, Nggalak, Limung, Wae Wua, Lante Sama dan Lante Wudi. Otoritas tertinggi dalam masing-masing gendang adalah Tua Gendang. Tua Gendang masih memiliki tempat dan peran strategis dalam kehidupan sosial. Misalnya, Tua Gendang memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan mempertahankan lahan-lahan yang ada dan jual beli tanah harus sepengetahuan Tua Gendang.

Kearifan lokal tersebut banyak memberi hal positif bagi keutuhan dan kesatuan hidup sosial. Selain itu, mengingat hampir sebagian besar lahan di paroki ini sangat potensial untuk aktivitas pertambangan (mangan), kearifan lokal ini juga diandalkan dalam mengantisipasi masuknya korporasi pertambangan yang hendak mengekplorasi dan mengeksploitasi lahan yang ada.

Ada empat desa di paroki ini, yaitu Kajong, Nggalak, Lante, dan Sambi. Perkembangan terkini adalah terbentuknya kecamatan baru, Kecamatan Reok Barat (Agustus 2012). Pusat kecamatan baru ini adalah Sambi yang mana lokasinya relatif dekat dengan pusat paroki. Dengan demikian, paroki ini memiliki prospek bagus untuk masa yang akan datang. Bukan tidak mungkin pusat paroki ini akan menjadi pusat keramaian di Manggarai Utara, selain Reo. 

Menuju Pastoral Berdikari 

Karya pastoral Paroki St.Maria Immaculata didukung oleh sumber daya dan sarana yang cukup. Personalia yang ada berjuang untuk melayani sebaik mungkin. Kebutuhan rohani umat yang relatif tinggi memang menuntut pelayan pastoral terutama pastor paroki untuk selalu siap sedia melayani permintaan umat. Pelayanan pastoral sangat terbantu oleh keberadaan Dewan Pastoral Paroki (DPP). Umumnya, semua anggota dewan bersama seksi-seksinya menjalankan program kerja yang telah dirancang pada awal tahun.

Selain memanfaatkan peluang yang sudah ada, agen pastoral juga berjuang menciptakan peluang-peluang.  Pelayanan pastoral juga melibatkan dan bekerja sama dengan pihak lain. Sebagai contoh, pada masa puasa 2013 kunjungan pastoral diisi dengan pelayanan rohani dan kesehatan. Maka, paroki menggandeng dokter dan perawat yang ada di Puskesmas dan Pustu setempat. Atau, contoh lain adalah penghijauan mata air dalam kerja sama dengan TNI.

Meskipun paroki ini baru berusia lima tahun, namun paroki memilik prospek pertumbuhan yang pertu ditingkatkan.

Pertama, rasa mememiliki dan kesadaran berparoki. Rasa memiliki menjadi modal kuat untuk kemandiriaan paroki dan kesadaran berparoki ini terlihat dalam tanggung jawab umat dalam melaksanakan tugas-tugas gerejani. Sebagai contoh, masing-masing penanggung liturgi mingguan berjuang untuk tampil maksimal dan memberikan yang terbaik bagi perayaan liturgi. Hal lain yang menunjukkan kesadaran berparoki adalah kesadaran untuk melunasi kewajiban gereja mandiri.

Kedua, umat masih menaruh respek terhadap panggilan khusus. Di tengah krisis imamat dan panggilan khusus dewasa ini, umat Paroki Kajong masih meyakini panggilan menjadi imam, biarawan dan biarawati sebagai panggilan luhur dan mulia. Karena itu, mereka sangat mendukung anak muda yang meniti jalan panggilan ini. Tidak mengherankan bahwa panggilan untuk menjalani panggilan ini terbilang subur.

Ketiga, paroki memberikan perhatian bagi kelompok-kelompok hidup Kristiani, misalnya memfasilitasi umat untuk membentuk organisasi Komunitas Tritunggal Mahakudus. Selain itu, paroki juga mendukukung kelompok-kelompok doa spontanitas dari berbagai kelompok umat. Sementara untuk orang muda, paroki memfasilitasi pekan OMK dan di masing-masing stasi OMK terlibat aktif dalam kegiatan menggereja.

Keempat, kelompok sosial karitatif yang mencolok adalah kelompok leles (kelompok gorong royong) dan koperasi kredit. Kelompok gotong royong ini sangat nampak dalam meringankan pekerjaan di kebun dan bahkan kelompok ini juga membantu paroki dalam mengolah lahan paroki. Sementara itu, kehadiran koperasi kredit yang diprakarsai oleh paroki sangat membantu umat dalam menumbuhkan semangat hidup hemat dan menabung. Koperasi ini juga sangat membantu umat melalui pinjaman dengan bunga rendah. Banyak umat yang sangat terbantu dengan kehadiran koperasi ini. 

Kelima, keramahan merupakan salah satu hal yang menjadi daya tarik umat di paroki ini. Umumnya, umat paroki  akan rela berkorban demi orang-orang yang berkunjung. Selain itu, salah satu hal yang sering kali dijunjung tinggi adalah soliditas umat. Karena itu, mereka sungguh menyesali luka yang pernah menodai kekompakan mereka, yaitu konflik horisontal berkaitan dengan hak ulayat. Sekarang ini tampak menguat kerinduan bersama agar luka itu segera sembuh dan karenanya kehadiran agen pastoral menjadi mediator. 

Dijaga dan dirawat

Pertama, mempertahankan kearifan lokal. Perkembangan dan pertukaran informasi yang sedemikian pesat dewasa ini juga sudah masuk ke paroki ini. Situasi tersebut didukung oleh adanya akses dengan dunia luar. Namun, untuk sementara komunitas budaya lokal tetap mempetahankan kearifan yang mengutamakan nilai sosial di atas individualisme. Selain itu, salah satu hal menarik adalah pengintegrasian kearifan lokal dalam iman Kristiani. Hal ini sangat terlihat dalam upacara syukur panen di mana upacara-upacara adat diintegrasikan ke dalam penghayatan iman Kristiani. Upaya ini kiranya dapat memperkuat jati diri  umat sesuai kearifan nilai-nilai setempat sehingga dapat membentengi hal-hal negatif yang datang dari luar.

Kedua, partisipasi umat dalam liturgi. Liturgi merupakan tindakan penyelamatan Allah yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus dalam persatuan dengan Roh Kudus, yang dialami dan dirayakan oleh umat beriman. Dalam kehidupan liturgis, inisiatif Allah dan tanggapan dari umat merupakan dua hal yang tidak dipisahkan. Tindakan umat beriman sebagai tanggapan atas tawaran keselamatan kiranya tidak boleh mengaburkan karya keselamatan. Meskipun demikian, Gereja berusaha agar jangan sampai umat beriman menghadiri misteri iman itu sebagai orang luar atau penonton yang bisu, melainkan supaya melalui upacara dan doa-doa memahami misteri itu dengan baik, dan ikut-serta penuh khidmat dan secara aktif (SC 48).

Dalam pengalaman ada bersama umat di Paroki ini, umat di paroki ini terlihat aktif dalam menghadiri misteri keselamatan itu. Karena itu, para petugas liturgi berjuang untuk menyiapkan diri dengan baik agar semua umat bisa merayakan misteri itu dengan baik. Namun, satu hal yang dipertimbangkan partisipasi seluruh umat dalam perayaan sehingga semua umat aktif dalam perayaan liturgi. Perlu ada perimbangan partisipasi umat umumnya dan petugas liturgi dalam suatu perayaan. Dengan demikian, semua umat sungguh menjadikan kehidupan liturgis sebagai bagian integral dari semua orang beriman dan bukannya hanya menunggu tugas-tugas liturgis yang diberikan .

Ketiga,  mewaspadai korporasi tambang. Paroki St. Maria Immaculata Wae Kajong merupakan wilayah yang sangat potensial tambang mangan. Tidak mengherankan banyak investor yang masuk untuk mengeksplorasi dan bahkan mengeksploitasi potensi tambang. Korporasi pertambangan seringkali masuk melalui pemangku kekuasaan ulayat (tua gendang) dan pemilik lahan. Apalagi perusahan-perusahan pertambangan menggunakan strategi partipasi masyarakat lokal lingkar tambang. Di sini, tawaran upah yang cukup tinggi bisa menjebak masyarakat pada kesenangan sementara, tetapi menjadi malapetakan untuk masa-masa yang akan datang. Sejarah mencatat bahwa pertambangan selalu berpihak pada investor dan masyarakat lebih banyak menelan pil pahit dan bahkan racun yang mematikan. 

Diolah dari Laporan Praktek Pastoral 2012- 2013

Merayakan Kematian

Oleh: Timotius J
Jika kematian diterima sebagai titik peralihan, maka perjuangan di dunia ini bukanlah suatu kesia-kesiaan. Peristiwa kematian hendaknya tidak melemahkan usaha dan perjuangan untuk memaknai hidup sekarang ini. 
Seorang gadis mengabarkan pengalaman eksistensialnya kepada sahabat-sahabatnya. Melalui jejaring media sosial ia membagikan pengalaman duka tiada tara atas “perpisahan” abadi dengan sang ayah. Sejauh yang dilukiskannya, almarhum merupakan sosok ayah yang penuh kasih, bertanggung jawab bagi keluarga dan sarat dengan kesabaran dalam mendidik anak-anaknya. Bagi istri dan anak-anaknya, almarhum adalah laki-laki ideal sebagai suami dan ayah. Maka ketika maut menjemputnya, kata si gadis, kenyataan itu merupakan pukulan telak dan kehilangan terbesar sekaligus menyakitkan bagi mereka sekeluarga.  

Pengalaman gadis tersebut memang mungkin tidak cukup melukiskan pengalaman kehilangan dan menyakitkan dalam peristiwa duka. Hal yang sudah pasti bahwa kematian tidak bisa dibatalkan. Pengalaman kematian selalu dekat dengan makhluk hidup. Kematian mungkin bisa ditunda berkat kemajuan dan perkembangan pesat iptek dalam dunia kesehatan, tetapi pada waktunya setiap orang tidak mungkin mengelakkannya.

Masyarakat budaya tertentu memiliki cara pandang tersendiri untuk menjelaskan tentang kematian. Di Manggarai, misalnya, kematian bukan merupakan akhir dari segala-galanya, melainkan sebagai pintu masuk ke dunia yang lain atau kehidupan yang baru. Kematian hanya dilihat sebagai perpindahan tempat dari dunia ‘sini’ ke dunia seberang. Tentang hal ini, antara lain, jelas dalam sebutan pa’ang be le. Sebutan pa’ang be le menunjukkan bahwa orang yang dekat selama hidup juga akan tetap mendiami ruang atau ‘kampung’ lain yang masih dekat dengan sanak keluarga dan kampung asalnya.

Selain sebutan pa’ang be le, kebiasaan lain yang bisa dijumpai dalam peristiwa kematian di Manggarai adalah torok wae lu’u. Dalam torok wae lu’u, ada sebuah kepercayaan bahwa orang yang telah meninggal itu mendengarkan orang yang masih hidup di dunia ‘sini’. Biasanya orang yang menyampaikan torok wae lu’u akan menjelaskan kepada orang yang telah meninggal, tentang siapa yang memberikan/menyampaikan ‘sesuatu’ itu kepada yang meninggal. 

Dari dua hal ini saja, bisa dikatakan bahwa dalam cara pandang budaya Manggarai,  orang yang meninggal bukan hanya sekedar tetap ada melainkan dia juga tetap hidup. Kemudian, orang yang meninggal mendiami tempat di ruang yang berbeda dari sebelumnya dan meskipun terpisah, dia tetap memiliki hubungan yang tidak terputuskan dengan orang-orang yang masih mengembara di dunia ‘sini’ serta masih berdekatan dengan sanak keluarga dan orang yang pernah ada bersamanya.

Di luar upacara kematian, masih banyak upacara budaya lain yang dilatari kepercayaan yang sama bahwa relasi/hubungan antara orang-orang yang meninggal dengan orang-orang yang masih hidup tidak akan sirna. Mereka yang telah meninggal masih memperhatikan kehidupan orang yang masih hidup di dunia ‘sini’.

Orang beriman meyakini bahwa kehidupan yang dijalani merupakan tanda akan rahmat Allah. Karena itu, selama  bisa bernafas, setiap orang berjuang untuk menjalani kehidupan seturut rahmat dan kehendak Sumber rahmat. Dalam peristiwa kematian diyakini pula bahwa rahmat Allah juga yang memungkinkan setiap anak manusia untuk melanjutkan hidup yang baru dalam kemuliaan abadi.

Iman Kristiani memberikan jawaban yang optimis tentang makna kehidupan setelah kematian. Kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan karena Allah telah menyelamatkan dan menebus umat-Nya dari kuasa maut melalui Putera-Nya. Iman ini mendatangkan harapan bahwa Dia akan selalu menyertai manusia tidak hanya dalam kehidupan melainkan juga dalam kematian.

St. Paulus mewartakan bahwa melalui pembaptisan, setiap orang bersatu dengan Kristus. Melalui pembaptisan diperoleh jaminan untuk mati dan dikuburkan bersama Kristus dan kemudian hidup dalam keadaan baru seperti Kristus. Dalam Kristus, kuasa dosa dilenyapkan dan manusia tidak menjadi budak dosa lagi. Jika mati bersama Kristus, maka akan hidup juga bersama Kristus.

Kecemasan manusia akan kehidupan setelah kematian terjawab, yakni setelah kehidupan di dunia ini orang beriman pasti diselamatkan karena cinta dan demi cinta. Kematian bukanlah pertanda bahwa cinta Allah sudah menjauh dan sirna dari hadapannya. Kematian adalah peristiwa berahmat di mana semua orang beriman akan mengalami cinta kasih Allah secara penuh dan sempurna. Kelemahan manusiawi dan dosa akan lenyap dan tidak akan pernah menguasai lagi. Dengan demikian, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan.

Yesus telah menjanjikan Rumah Bapa sebagai harapan pasti manakala mengakiri ziarah di dunia ini. Masa depan tidak berakhir dengan kehampaan. Masa depan menjadi pasti sebagai suatu realitas yang positif di mana orang beriman akan berkumpul di Rumah Bapa dalam persekutuan dengan semua orang kudus-Nya. Jawaban Yesus kepada Thomas dan Filipus menyadarkan orang beriman bahwa harapan akan Rumah Bapa itu bermuasal dari perjumpaan dan pengenalan akan Bapa dalam Yesus Kristus.

Perjumpaan dengan Allah selalu mendatangkan pembebasan bagi diri sendiri dan orang lain, sebagaimana Yesus telah menebus umat manusia. Lebih lanjut, perjumpaan dengan Allah akan memampukan orang beriman untuk melihat kehadiran Kristus sebagai bukti cinta Allah yang melimpah kepada manusia. Allah telah mencintai manusia dan terus mencintai manusia sampai akhir zaman.

Bila setiap orang berada dalam hubungan dengan Dia yang tidak bisa mati, yang adalah Hidup itu sendiri dan Cinta itu sendiri, maka manusia berada dalam hidup. Keyakinan itu mesti menggugah dan mendorong setiap orang beriman untuk bertanggung jawab dalam menjalani hidupnya juga dalam relasi dengan sesama makhluk ciptaan. Hanya melalui persekutuan dengan Dia, maka menjadi mungkin bahwa hidup orang beriman benar-benar menjadi ada bagi sesama. Kemudian, cinta akan Allah sejatinya mengarah kepada keikutsertaan dalam keadilan dan kedermawanan Allah kepada sesama.

Bertolak dari cara pandang di atas, maka Kerajaan Allah bukanlah sebuah khayalan saat mendatang, yang terletak di sebuah masa depan yang tidak akan pernah tiba. Kerajaan Allah hadir di manapun Dia dicintai dan di manapun cinta-Nya mencapai kita. Cinta-Nya memberikan kepada kita kemungkinan untuk tetap terjaga bertahan hari demi hari hingga mengalami sebuah kehidupan yang "benar-benar" hidup.

Dalam konteks ini, gambaran penghakiman terakhir terutama bukanlah gambaran teror, tapi sebuah gambaran harapan. Perjumpaan dengan-Nya adalah rahmat yang mentransformasi dan membebaskan serta membolehkan setiap orang untuk benar-benar menjadi diri sendiri. Dengan keyakinan seperti ini, kematian diterima sebagai titik peralihan menuju Rumah Bapa. Jika kematian diterima sebagai titik peralihan, maka perjuangan di dunia ini bukanlah suatu kesia-kesiaan. Peristiwa kematian hendaknya tidak melemahkan usaha dan perjuangan untuk memaknai hidup sekarang ini. Dan, setiap orang kiranya menyongsong kehadiran Kerajaan Allah dengan sikap optimisme dengan memaknai masa kini dalam cinta kasih-Nya.

Akhirnya, kembali ke pengalaman duka si gadis di atas. Almarhum telah menerima pembaptisan. Karena itu, kita harus yakin bahwa peristiwa kematian ini tentunya mendatangkan keselamatan kekal baginya, di mana ia telah mengalami cinta kasih Allah secara sempurna. Ia telah mulai mengalami cinta kasih dan mewartakan cinta itu itu dalam hidup hariannya. Dengan segala kerapuhan dan kelemahannya, almarhum telah berjuang untuk mengamalkan cinta Kristus yang diimaninya dalam pembaptisan. Kisah hidup yang telah dilukiskannya dapat menjadi cermin bagi yang masih berziarah di bumi untuk senantiasa menghidupi cinta kasih Kritus yang telah kita terima dalam pembaptisan. Semua kenangan tentang almarhum kiranya menjadi kekuatan untuk belajar menjadi pewarta cinta kasih baik di tengah keluarga, di tengah masyarakat, maupun berhadapan dengan orang-orang yang dijumpai. 


Mengembangkan Talenta

Oleh: Timotius J

Kemungkinan dan harapan adalah sesuatu yang bisa disadari pada masa lalu dan kini, tetapi akan terpenuhi pada masa depan.

Setiap pribadi terlahir unik

Setiap orang terlahir unik, memiliki kekhasan dan berbeda dari yang lain. Bisa jadi ada kemiripan antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lain, tetapi tidak ada yang memiliki kesamaan mutlak. Keberadaan setiap pribadi merupakan sesuatu yang unik dan patut disyukuri dan sertentak dituntut pula tanggung jawab untuk menghargai pribadi lain di sekitar kita. Di dalam diri yang lain, akan ditemukan sesuatu yang tidak ada dalam diri sendiri. Tanpa kehadiran pribadi lain, masing-masing pribadi tidak akan merasakan dan mengalami kekayaan makna hidup.

Allah telah menganugerakahkan kepada setiap pribadi talenta-talenta tertentu. Talenta merupakan anugerah yang megarahkan setiap pribadi untuk mecapai kepenuhan hidup. Setiap manusia akan mencapai kepenuhan hidupnya jika dengan tepat dan secara sungguh-sungguh mengembangkan talenta. Jika tidak, talenta itu akan tetap terpendam dan tidak memberikan sesuatu untuk kebaikan hidup.

Dalam mengembangkan talenta yang ada, pertama-pertama masing-masing pribadi harus mengenal diri sendiri. Setiap pribadi perlu mengenal kelebihan, keunggulan dan juga kekurangan dan keterbatasan. Pengenalan diri sangat menentukan tindakan dan sikap dalam mengembangkan talenta. Talenta-talenta itu akan berkembang sejauh pribadi tersebut dapat mengatur dan berperilaku yang berpijak pada kelebihan dan kekurangan yang disadarinya.

Dalam mengenal diri, ada tiga gambaran tentang diri. Pertama, gambaran diri yang negatif yaitu seseorang melihat dirinya sebagai pribadi dengan berbagai kekurangan semata. Seolah-olah tidak ada kebaikan dalam dirinya. Hal ini akan membuat seseorang menjadi minder, malu, takut, dan merasa tidak sanggup untuk untuk terus belajar mengembangkan talentanya. Kedua, positif yang berlebihan, yakni seorang melihat dirinya serba bisa, semuanya baik, serta tak ada kekurangan padanya. Gambaran diri sepert ini dapat menjebak seseorang pada sikap angkuh, suka dipuji, dan merasa lebih dari orang lain. Gambaran seperti ini adalah gambaran diri yang keliru tentang diri. Ketiga, gambaran diri yang realistis, yaitu seorang melihat diri sebagaimana adanya, menyadari kelebihan maupun kekurangannya. Ia menerima diri apa adanya.

Orientasi hidup menyata dalam tindakan hari ini

Adalah tidak keliru manakala setiap pribadi memiliki cita-cita dan ideal hidup tertentu. Cita-cita itu akan menggerakan diri kita untuk berbuat sesuatu. Dalam hal ini, pengenalan diri dengan baik merupakan titik pijak untuk merencanakan arah hidup selanjutnya. Keberadaan setiap pribadi tidak hanya sampai dan berakhir pada hari ini saja.

Dalam lintasan waktu, ada masa lalu, masa kini dan masa depan. Masa lalu adalah kenangan dimana seseorang telah melewati dan mengalami peristiwa-peristiwa tertentu. Banyak hal yang sudah dilakukan. Bisa jadi, banyak hal sudah tercapai, tetapi juga mungkin mengalami kegagalan tertentu.

Masa depan merupakan saat yang dinantikan dengan harapan dan  kecemasan tertentu. Masa itu belum tiba dan tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi. Kemungkinan dan harapan adalah sesuatu yang bisa disadari pada masa lalu dan kini, tetapi akan terpenuhi pada masa depan.

Sementara hari ini, berada antara hari kemarin dan hari esok. Hari ini, kita sedang melakukan sesuatu, wewujudkan harapan yang sudah ditentukan pada masa lalu atau juga berupaya merencankan harapan baru yang terepenuhi secara sempurna di masa depan. Masa sekarang adalah kenyataan yang dihidupi setiap pribadi. Masa sekarang menghubungkan masa lalu dan masa depan. Pada masa sekarang, masing-masing pribadi memiliki kenangan sebagai guru dalam melakukan sesuatu untuk mencapai harapan hidup. Arah hidup seseorang tampak dalam tindakan dan hidup masa kini.

Dalam perjuangan untuk menggapai harapan, pasti selalu ada tantangan dan cobaan. Pada dasarnya cobaan dan tantangan dapat menjerumuskan seseorang pada kegagalan. Kesuksesan hanya mungkin terjadi bila berani melawan, tidak tunduk pada cobaan-cobaan yang datang silih berganti.

Masing-masing pribadi telah memulai langkah pertama dan sebaiknya terus melanjutkan pendakian hingga mencapai titik puncak. Ada banyak tantangan, seperti jalan licin, terjal, tanjakan dan juga semak belukar. Namun, karena tujuan kita adalah puncak baiklah kita tidak menyerah, berjuang dan terus berjuang.

Kerikil yang mengganjal

Setiap pribadi tentu telah memulai perjalanan dan kini masih semangat menitip jalan itu. Bertahan dalam ketekunan akan menghantar pejalan mencapai puncak. Dalam perjalanan itu, selalu saja ada kerikil-kerikil yang mengganjal.

Pada mulanya kerikil itu, memang tidak kasat mata. Tersembunyi dalam batin. Tetapi kemudian, kerikil itu menjadi kelihatan dalam tingkah laku, baik terhadap Allah, diri sendiri, sesama manusia maupun lingkungan. Kerikil itu akan membutakan mata kita sehingga kita tidak dapat melihat masa depan dengan jernih.

Secara singkat, relasi manusia dibedakan atas dua, relasi vertikal dan relasi horisontal. Relasi vertikal adalah relasi antara manusia dengan Dia yang merupakan sumber dan penjamin hidup. Sementara itu, relasi horisontal adalah relasi antara seorang pribadi dengan pribadi yang lain, dan antara manusia dengan lingkungan.

Kerikil-kerikil dalam hidup bermula dari rasa curiga kepada Tuhan yang diimani. Orang beriman meyakini bahwa Allah itu berkuasa dan sangat diandalkan dalam menemani, meneguhkan, dan menguatkan kita untuk terus berjuang. Dalam kenyataan, sering kali kita merasa bahwa Allah tidak hadir untuk membantu, Allah tidak mungkin menemani kita lagi, atau Allah menutup mata terhadap penderitaan/kesedihan yang kita alami.

Sikap tidak percaya tersebut merupakan kerikil yang bisa jadi menjadi mengganjal perjalanan seseorang. Kasih Allah tidak diyakini sebagai jaminan dan sumber kekuatan, pengharapan, dan peneguhan. Ketika Allah tidak lagi diandalkan sebagai kekuatan dan penopang, maka manusia semata-semata mengandalkan diri sendiri. Manusia melihat dirinya sebagai tokoh yang serba bisa dan pusat dari segala yang ada.

Sang Pencipta telah menganugerahkan kepada masing-masing pribadi talenta untuk kehidupannya. Keraguan pada Dia sebagai penjamin hidup akan menjerumuskan pribadi pada sikap mengandalkan kekuatan sendiri. Kedikpercayaan-keraguan pada Dia dan mengandalkan kemampuan diri merupakan kerikil yang menghalangai masing-masing pribadi dalam mengembangkan talenta. Yesus mengecam para murid yang kurang percaya dan hanya mengandalkan kekuatan sendiri. 


Kontekstualisasi Teologi, Penguatan Jati Diri Budaya

Oleh: Timotius J

Kontekstualisasi teologi harus mendorong masyarakat ke arah perubahan menuju kehidupan yang lebih berkualitas. Kontekstualisasi teologi tidak sekedar melanggengkan konteks budaya atau tradisi Gereja.

Globalisasi menjadi term kunci untuk melukiskan konteks zaman ini yang ditandai oleh meningkatnya interkoneksi dan interdependensi. Kontekstualisasi teologi menjadi urgen dan merupakan imperatif teologis untuk menjawabi situasi dewasa ini. Dengan kata lain, perjumpaan antara yang lokal dengan yang global menjadi suatu hal yang biasa terjadi dewasa ini.

Dengan indah, John Prior melukiskan kenyataan kontekstual dewasa ini, demikian:

Sepasang anak muda menggalahi sampan lading mereka menuju kantor pos di Agats, sebuah kawasan pemukiman kecil yang terletak di wilayah rawa-rawa di pantai selatan Tanah Papua. Setelah mengikat perahunya yang terbuat dari batang kayu yang dilubangi itu, mereka naik merangkaki jalan setapak yang ditataki lapisan kayu. Setibanya di dalam kantor pos itu mereka mengirim sebuah pesan e-mail ke teman-temannya di Eropa. Lalu, mereka meluncur turun menuju sampan tadi dan menggalahinya pulang ke rumah mereka berupa bangunan lamin panjang.[1]

Tinjauan sosio-budaya atas globalisasi memperlihatkan wajah ganda. Di  satu sisi, globalisasi membuka peluang terciptanya pola kebudayaan yang homogen. Sementara itu, di sisi lain, globalisasi menuntut perjuangan untuk memperkuat identitas lokal. Jika efek samping pada sisi yang satu adalah penjajahan budaya, maka pada sisi yang lain dapat juga memupuk fanatisme budaya. Bahwa globalisasi telah berandil dalam humanisasi budaya, namun tidak dimungkiri juga bahwa globalisasi juga membawa serta proses dehumanisasi budaya. Baik penjajahan budaya maupun fanatisme semuanya akan berujung pada krisis jati diri budaya.[2]

Mengikuti defenisi teologi Anselmus dari Canterbury sebagaimana dikutip oleh Stephen B. Bevans teologi dipahami sebagai iman yang mencari pemahaman. Bertolak dari defenisi ini, ihwal melakukan teologi adalah “sesuatu yang terjadi dalam setiap dan semua orang yang berjuang untuk memahami imannya; ia adalah sebuah proses yang berlangsung di dalam hati dan pikiran dari setiap orang beriman yang tulus.”[3]

Singkatnya, melakukan teologi berarti usaha untuk memahami iman umat sendiri. Upaya tersebut merupakan suatu proyek yang berkanjang yang tidak pernah dapat tercapai sepenuhnya. Dan akhirnya, melakukan teologi tidak bertujuan untuk mencari kepastian, tetapi memperdalam iman sehingga pengetahuan dan kebijaksanaan yang dicapai adalah bukan kepastian rasional melainkan suatu pemahaman yang kokoh namun rendah hati dan tentatif.[4]

Term kunci lain dalam buku ini adalah (kedua) kontekstualisasi teologi. Istilah kontekstualisasi dicetuskan untuk menggantikan istilah indegenisasi teologi yang dianggap tidak memadai dalam upaya untuk mengindahkan konteks dalam berteologi.[5] Istilah ini diperkenalkan oleh Theological Education Fund WCC pada tahun 1972. Di sini, kontekstualisasi dimengerti sebagai upaya untuk mengindahkan konteks dalam berteologi.[6] Mengutip Bevans, lebih lanjut kontekstualisasi teologi dipahami sebagai upaya untuk memahami iman dipandang dari segi suatu konteks tertentu.[7]

Menurut Budi Kleden, ada dua sifat dasar dari kontekstualisasi teologi, yaitu kritis dan transformatif.[8] Kritis artinya, kontekstualisasi teologi haru bisa mempertimbangkan paham dan praktik dalam tradisi Kristen yang turut berperan dalam membentuk atau mempertahankan pola pikir, perilaku dan struktur yang tidak adil dalam masyarakat. Sementara transformatif berarti kontekstualisasi teologi harus mendorong masyarakat ke arah perubahan menuju kehidupan yang lebih berkualitas. Kontekstualisasi teologi tidak sekedar melanggengkan konteks budaya atau tradisi Gereja.

Selain teologi dan kontekstualisasi teologi, term kunci yang akan dijumpai adalah (ketiga) kebudayaan. Kebudayaan yang dipahami dalam penelitian ini merujuk pada GS 53 di mana dikatakan:

...istilah kebudayaan dimaksudkan segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat-pembawaan jiwa-raganya. Ia menguasai alam semesta dengan pengetahuan maupun jerih payahnya. Ia menjadikan kehidupan sosial, dalam keluarga dan dalam seluruh masyarakat lebih manusiawi melalui kemajuan  tata susila dan lembaga-lembaga. Akhirnya, di sepanjang masa ia mengungkapkan, menyalurkan dan melestarikan pengalaman-pengalaman rohani serta aspirasi-aspirasinya yang besar melalui karya-karyanya supaya berfaedah bagi kemajuan banyak orang bahkan segenap umat manusia.[9]

Dari kutipan di atas, kebudayaan dipahami sebagai jalan/mediasi untuk empat relasi manusia, yaitu dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, dengan alam dan akhirnya dengan  Tuhan.[10] Dengan kata lain, mengikuti Theological Advisory Commission FABC, kebudayaan adalah cara konkret memanusia di dalam suatu bangsa, kelompok atau negara tertentu.[11]



[1]John M. Prior, Berdiri Di Ambang Batas (Maumere: Ledalero, 2008), p. 152. [2]Manfred B. Steger, Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar (Yogyakarta: Lafadl Pustaka, 2005), pp. 54-57. [3]Stephen B. Bevans, Teologi Dalam Perspektif Global (Maumere: Ledalero, 2010), p. 51. [4]Ibid., pp. 52-57. [5]Robert J. Schreiter melihat bahwa istilah indegenisasi ini merupakan istilah yang jelas-jelas kolonialis dan karena itu tidak cocok untuk perspektif baru dalam teologi. Robert J. Schreiter, Op.cit., pp.11-12. [6]Ruy O. Costa (Ed.), One Faith, Many Cultures (United States Of America: Orbis Books and Boston Theological Institute, 1988), p. xii. Bdk. Prinsip-Prinsip Kontekstualisasi dalam http://misi.sabda.org/prinsip-prinsip-kontekstualisasi, diakses pada 20 september 2013. [7]Stephen  B. Bevans, Teologi Dalam Perspektif Global, Op.cit., p. 73. [8]Paul B. Kleden, “Yang Lain Sebagai Fokus Berteologi Kontekstual Di Indonesia” dalam Jurnal Ledalero, Vol. 9, No. 2, 2010, p. 159. [9]Dokumen Konsili Vatikan II, Op.cit., pp. 579-580. [10]Bdk. Ino Sutam, “Menjadi Gereja Katolik Yang Berakar Dalam Kebudayaan Manggarai” dalam Martin Chen dan Charles Suwendi (Eds.), Op.cit., pp. 172. [11]Theological Advisory Commission FABC, Op.cit., p. 24.

Pasca-Pemilu, Kebijakan Publik Kontekstual

Oleh: Timotius J

Sejatinya, kebijakan publik harus mampu mengangkat martabat persona dalam suatu komunitas lokal dan memberi ruang bagi suatu komunitas masyarakat untuk bertanggung jawab terhadap kepentingan publik. 

Euforia Pemilu diwarnai oleh perbincangan seputar kebijakan publik. Kinerja dan komitmen “orang pilihan” yang telah menjalankan pengabdian sepanjang lima tahun tidak luput dari penilaian publik. Bersamaan dengan itu pula, ruang publik disesaki mimpi para kandidat dan pendukungnya untuk menciptakan keadaban publik di masa mendatang.

Pertanyaan yang menggugat komitmen anak bangsa adalah apakah perayaan politik berakhir di Tempat Pemungutan Suara (TPS)? Jika jawaban yang tepat atas pertanyaan ini adalah TIDAK, maka seyogianya pilihan politik pasca-Pemilu adalah mengawal kebijakan publik. Diharapkan bahwa mereka yang terpilih adalah orang-orang istimewa yang sungguh bertanggung jawab kepada rakyat, yaitu sanggup membuka mata dan telinga untuk melihat dan mendengar sehingga dapat merancang dan melaksanakan kebijakan publik yang melayani kesejahteraan rakyat tanpa diskriminasi.

Mereka yang terpilih itu memang bertanggung jawab atas dinamika kebijakan publik. Namun, hal itu tidak berarti bahwa rakyat dibebaskan dari tanggung jawabnya untuk berpartisipasi dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini. Bahwa posisi mereka yang terpilih akan menentukan keberadaan bangsa, tetapi patut pula digarisbawahi bahwa mereka hanya melaksanakan sebagian kecil dari tanggung jawab rakyat.

Rakyat tidak dapat dipungkiri sebagai salah satu unsur konstitutif terbentuknya negara. Dalam hal ini, berpangku tangan sembari menanti celah untuk menyudutkan dan menjatuhkan mereka yang terpilih dan dilantik tentu bertentangan dengan komitmen kebangsaan. Senada dengan alur pemahaman seperti ini, jelaslah juga bahwa menjatuhkan pilihan di TPS bukanlah akhir keterlibatan politik warga. Keterlibatan politik warga dalam ruang publik semestinya ditampilkan dalam komitmen tanpa batas waktu selama hayat dikandung badan.  Dengan demikian, setiap kebijakan publik adalah buah dari kebersamaan seturut posisi masing-masing individu dan komunitas dalam kehidupan berbangsa.

Rakyat tidak dapat dipungkiri sebagai salah satu unsur konstitutif terbentuknya negara. Dalam hal ini, berpangku tangan sembari menanti celah untuk menyudutkan dan menjatuhkan mereka yang terpilih dan dilantik tentu bertentangan dengan komitmen kebangsaan. Senada dengan alur pemahaman seperti ini, jelaslah juga bahwa menjatuhkan pilihan di TPS bukanlah akhir keterlibatan politik warga. Keterlibatan politik warga dalam ruang publik semestinya ditampilkan dalam komitmen tanpa batas waktu selama hayat dikandung badan.  Dengan demikian, setiap kebijakan publik adalah buah dari kebersamaan seturut posisi masing-masing individu dan komunitas dalam kehidupan berbangsa.

Kebijakan publik akan memberikan dampak tertentu bagi individu-individu dalam suatu komunitas masyarakat. Kebijakan publik sejatinya harus mendatangkan kualitas hidup yang lebih baik. Yang diwaspadai adalah bahaya laten yang kerap kali bersembunyi di balik suatu kebijakan publik.

Biasanya, bahaya laten merupakan akibat tidak langsung yang memang tidak dikehendaki. Di sini masyarakat lokal dijadikan semata-mata sebagai objek hanya menonton dan penikmat berbagai kebijakan yang ditawarkan kepada mereka. Ketika masyarakat menjadi penonton dan diposisikan sebagai ruang yang mesti diisi dengan berbagai kebijakan dari luar, maka sebenarnya mereka telah terpinggirkan dan pada gilirannya akan menjadi korban dari suatu sistem.

Tetapi juga juga bisa dikehendaki secara sadar demi kepentingan sektarian dengan mengorbankan pihak lain. Lebih jauh, bahaya laten akan menguat jika kebijakan publik dipolitisasi oleh kelompok-kelompok oportunis yang bersandiwara bersama pemangku kekuasaan politik lokal.  Mekanismenya adalah bersembunyi di balik kebijakan publik yang terlihat berpihak pada kebaikan bersama. Hal ini memang tidak dapat dipantau dengan mudah, tetapi pada gilirannya akan membahayakan keberadaan individu maupun suatu komunitas.

Sistem desentralisasi merupakan angin segar bagi terciptanya kebijakan publik yang sesuai dengan kebutuhan komunitas masyarakat setempat. Selain itu, desentralisasi juga memberi ruang kepada masyarakat setempat untuk bertanggung jawab dan terpanggil untuk terlibat dalam merancang, memutuskan, melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan publik.

Bahwa masyarakat sudah mulai menunjukkan keterlibatan dalam setiap kebijakan publik, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa hal itu baru diperankan oleh sekelompok kecil masyarakat. Kiranya masyarakat semakin dilibatkan dan dibiasakan untuk bertanggung jawab dan bersuara bagi peningkatan kualitas hidup mereka sendiri.

Desentralisasi tanpa diimbangi pelibatan masyarakat lokal memang menjadi tantangan besar untuk berbagai daerah di Indonesia. Meskipun demikian, harapan akan Indonesia yang lebih baik tetap ada. Saya optimis akan Indonesia yang lebih baik dengan merujuk pada perkembangan gerakan civil society sepanjang Orde Reformasi ini.

Merancang, memutuskan dan melaksanakan suatu kebijakan publik bukanlah perkara gampang seperti membalikkan telapak tangan. Sejatinya, kebijakan publik harus mampu mengangkat martabat individu dalam suatu komunitas lokal dan memberi ruang bagi suatu komunitas masyarakat untuk bertanggung jawab bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, baik pemerintah daerah maupun kelompok-kelompok civil society hendaknya memiliki kemampuan dasar untuk melihat dan mengandalisis realitas kontekstual  (ekonomi, politik dan budaya) sehingga dapat merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik yang dapat menjawabi kebutuhan masyarakat setempat.

Sejatinya, kebijakan publik harus mampu mengangkat martabat persona dalam suatu komunitas lokal dan memberi ruang bagi suatu komunitas masyarakat untuk bertanggung jawab terhadap kepentingan publik. Di sini, pengambilan kebijakan publik yang gegabah merupakan sesuatu yang tidak manusiawi. Dengan demikian, kesanggupan dan kesiapan dari seluruh masyarakat warga untuk mengawal merupakan jaminan terciptanya kebijakan publik yang dapat menjawabi kebaikan bersama.