Globalisasi dan Suka Cita Natal Bagi Keluarga

Oleh: Timotius J

Natal menjadi inspirasi untuk menguatkan harapan dan optimisme akan hakikat asali keluarga sebagai basis dan sumber suka cita bagi setiap pribadi.

Natal pada era globalisasi adalah kabar suka cita di tengah meningkatnya fenomena dehumanisasi. Pada tahun 2014, jumlah kasus aborsi mencapai 2-2,5 juta. Selain kasus aborsi, HIV/AIDS juga meningkat. Terhitung sejak Januari hingga September 2014, total kasus HIV 22,869  dan AIDS 1,876. Faktor risiko terbesar adalah hubungan seksual dan HIV/AIDS didominasi usia produktif, yaitu 20-49 tahun.

Sejatinya, globalisasi adalah peluang emas humanisasi. Dengan terbukanya sekat antarruang di belahan bumi, nilai-nilai berpadu di atas satu panggung kehidupan.  Di mana pun seseorang merangkai jejaknya, ia senantiasa berada dalam kesatuan dengan nilai-nilai yang ada di belahan lain bumi yang satu ini. Di sini, globalisasi adalah kisah pembauran nilai. Nilai-nilai silih berganti datang tanpa diundang dan akan segera pergi jika tidak diapresiasi sewajarnya.

Dengan menawarkan aneka nilai, masing-masing pribadi tidak lagi terperangkap dalam satu nilai tunggal. Kwalitas suatu nilai senantiasa ditentukan oleh nilai-nilai lain sebagai indikator pembanding. Dengan demikian, masing-masing pribadi dapat memilih dan memiliki nilai yang terbaik. Jika, nilai yang dipegang ternyata tidak memungkinkan dirinya berkembang ke arah yang lebih manusiawi, nilai itu dapat ditanggalkan dan dengan segera diganti oleh nilai lain yang selalu tersedia.

Humanisasi yang diusung globalisasi adalah suatu pemurnian orientasi hidup sebagai milik khas dan unik setiap pribadi. Globalisasi menuntut setiap pribadi memilah dengan jeli dan jernih setiap tawaran nilai. Maka, komitmen menukik lebih dalam adalah suatu keniscayaan untuk menimbang apakah suatu nilai pantas dipertahankan sebagai fondasi hidup atau tidak.

Pribadi yang sanggup menjalani tantangan di atas akan menjadi tuan atas globalisasi; pribadi yang bertahan akan menangkap peluang positif yang ditawarkan. Sebaliknya, seseorang akan menjadi mangsa dan korban jika tidak memiliki kesanggupan untuk memastikan ke mana langkah mesti diarahkan. Pribadi yang tidak memiliki ketahanan yang cukup akan terombang-ambing dan serentak dipermainkan oleh nilai-nilai yang datang silih berganti.

Kasus-kasus dehumanisasi yang ada merupakan tanda betapa lemahnya ketahanan personal manusia abad ini. Ketika ketahanan personal rapuh, manusia mudah terjerambat dalam kegelapan. Tanpa memandang jauh ke depan, orang terjebak dalam ketergesaan dan kemendesakan untuk memiliki apa yang ditawarkan tanpa memberikan ruang kepada mata batin untuk menimbang. Manusia terseliau kemasan dan pesona apik atas tawaran yang datang walaupun  kwalitasnya belum tentu dapat dipertanggunjawabkan.  

Berhadapan dengan kenyataan ini, proyek yang mesti diupayakan adalah penguatan kapasitas personal. Setiap pribadi mesti dibekali dengan nilai-nilai primer yang pantas dan wajar sebelum memasuki arena hidup sehingga memungkinkan yang bersangkutan melangkah dengan pasti, sorot matanya tenang menatap dunia dan wajahnya berseri menghadapi perubahan dan pergeseran yang cepat.

Keluarga merupakan benteng utama dan pertama yang diandalkan untuk menjalankan misi itu. Teori sosial mengakui peran penting keluarga dalam proses sosialisasi individu ke dalam masyarakat. Melalui sosialisasi, keluarga menjadi institusi yang tak tergantikan dalam membentuk kepribadian. Di dalam keluarga, individu-individu menginternalisasi nilai-nilai, norma-norma dan adat istiadat yang ada sehingga menjadi sesuatu yang mempribadi.

Gereja Katolik selalu menggarisbawahi vitalnya panggilan setiap keluarga dalam penguatan kapasitas personal. Hal ini dapat disimak dalam Sinode Para Uskup di Roma pada bulan Oktober 2012 dan sinode yang terakhir Oktober 2014. Bagi Gereja Katolik, keluarga adalah Gereja domestik untuk pembentukan pribadi manusia melalui transmisi iman. Merujuk Konsili Vatikan II, keluarga merupakan persekutuan hidup dan kasih antara suami dan isteri yang bermuara pada kelahiran dan pendidikan anak. Kelahiran dan pendidikan anak merupakan tujuan dan sekaligus tanggung jawab persatuan cinta antara suami dan isteri sebagai mitra kerja Allah (Gaudium et Spes, 48 dan 50).

Natal adalalah pengalaman suka cita berjumpa dengan Allah dalam keluarga, demikian pesan natal yang disampaikan oleh KWI dan PGI. Lebih lanjut, KWI dan PGI berpandangan bahwa Allah hadir di dalam keluarga, terlahir sebagai Yesus dalam keluarga yang dibangun oleh pasangan saleh Maria dan Yusuf. Karena itu, natal adalah kesempatan untuk memahami betapa luhurnya keluarga dan bernilai-nya hidup sebagai keluarga karena di situlah Tuhan yang dicari dan dipuji hadir. Keluarga sepatutnya menjadi bait suci di mana kesalahan diampuni dan luka-luka disembuhkan.

Peristiwa Yesus lahir di tengah keluarga adalah antitesis atas setiap gejala desakralisasi institusi keluarga oleh pribadi yang terlarut dalam jejaring kenikmatan semu di luar ruma. Natal menjadi inspirasi untuk menguatkan harapan dan optimisme akan hakikat asali keluarga sebagai basis dan sumber suka cita bagi setiap pribadi. Pengalaman perjumpaan dalam keluarga akan memungkinkan masing-masing pribadi menjadi pewarta suka cita di tengah arus globalisasi.

Ekomomi yang Bermartabat

Oleh: Timotius J

Pola perekonomian yang mengakibatkan ketidakadilan dalam masyarakat dan ketidakseimbangan dalam tata alam menunjukkan bahwa kita sungguh telah jauh dari tujuan penciptaan.
Istilah 'ekonomi', yang berasal dari bahasa Yunani oikos dan nomos, pada hakikatnya berarti 'tata pengelolaan rumah tangga'. Sebagai tata-kelola, istilah 'ekonomi' menunjuk pada proses atau usaha pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan hidup. Karena sumber daya selalu terbatas, padahal kebutuhan hidup sangat banyak, kemudian istilah 'ekonomi' juga menyangkut seni-memilih secara bijak antara banyaknya kebutuhan di satu pihak dan terbatasnya sumberdaya atau sarana di lain pihak. Setidaknya, kegiatan ekonomi dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan manusia untuk mencapai suatu tingkatan kesejahteraan atau kemakmuran dalam hidup.

Dalam rangka mencapai kebutuhan dan kesejahteraan hidup manusia, kita mengenal tiga macam kegiatan ekonomi, yaitu kegiatan produksi, kegiatan distribusi dan kegiatan konsumsi. Kegiatan produksi adalah usaha untuk menghasilkan atau menambah daya guna barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan. Sementara itu, kegiatan distribusi adalah usaha menyalurkan atau menyebarluaskan barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Usaha distribusi barang dan jasa meliputi perdagangan barang dan distribusi tenaga kerja. Dan, kegiatan konsumsi merupakan aktifitas manusia dalam memakai/menggunakan atau menghabiskan barang yang diproduksi.

Hidup secara manusiawi adalah hak paling asasi karena di atas hak itulah hak-hak lainnya dapat tegak berdiri, diperjuangkan dan diwujudkan. Kehidupan manusia adalah sesuatu yang diterima sebagai anugerah. Allah pemberi kehidupan menopang kehidupan manusia lain yang mengitari kehidupan manusia. Allah menganugerahi hidup kepada manusia sekaligus melengkapi hidup manusia dengan ciptaan lain yang dapat menopang hidupnya.

Prioritas utama dalam ekonomi adalah hidup manusia. Setiap orang berhak atas akses-akses sumber ekonomi dan hak itu harus dijamin dan dipertahankan di atas prinsip keadilan. Gereja juga meningatkan bahwa pengembangan ekonomi tidak dapat direduksi hanya pada peningkatan produksi, profit (keuntungan) dan penguasaan sumber ekonomi. Manusia sebagai pusat dan tujuan kemajuan ekonomi tidak bisa dan tidak boleh diganti oleh profit, penguasaan, peningkatan modal, apalagi manusia dikorbankan demi profit (keuntungan), akumulasi (penumpukan) atau penguasaan sumber ekonomi.

“Manusialah yang menjadi pencipta, pusat dan tujuan seluruh kehidupan sosial ekonomi” (GS 63). Manusia harus diprioritaskan. Sehungguhnya ekonomi bukan segala-galanya dalam pembangunan, melainkan manusia dalam keutuhannya. Ini berarti bahwa setiap upaya atau usaha ekonomi harus bermuara pada kesejahteraan semua manusia. Pencapaian kesejahteraan umum sebagai tujuan pokok usaha ekonomi menjadikan usaha membangun ekonomi itu bermartabat dalam dua arti: pertama, usaha tersebut tertuju kepada kepentingan manjusia. Upaya ekonomi menjadi bermartabat ketika diabadikan demi kepentingan manusiawi. Usaha ekonomi ada demi manusia agar manusia dapat hidup secara manusiawi. Kedua, usaha itu bermartabat jika manusia itu sendiri menjadi pelalkunya. Hal itu merupakan manifestasi kebebasan dan otonomi manusia. Manusia seyogianya secara mandiri dan bebas mengupayakan kesejahteraan hidpuanya sendiri atau hidup bersama.

Kisah penciptaan menuturkan bahwa Roh Allah melayang-layang di atas bumi dan memberi bentuk bagi bumi yang masih kacau, kosong, dan tidak teratur. Dengan demikian, dunia bukanlah sebuah suasana ketakteraturan. Kitab Suci mengingatkan kita akan kondisi awal yang dikehendaki Pencipta, yakni menghormati keluhuran martabat manusia dalam semangat kekeluargaan, seraya terus menjaga keseimbangan hidup seluruh ciptaan. Keseimbangan ini perlu dijaga dan dirawat oleh manusia. Sebagaimana manusia pertama ditempatkan dalam taman di Eden, kita pun dianugerahi rahmat untuk hidup bersama di tanah-air kita yang kaya dan indah, agar kita "mengusahakan dan merawat taman" ini.

Pola perekonomian yang mengakibatkan ketidakadilan dalam masyarakat dan ketidakseimbangan dalam tata alam menunjukkan bahwa kita sungguh telah jauh dari tujuan penciptaan. Rumah tangga ciptaan itu terganggu karena manusia menyalahgunakan kebebasannya. Manusia melihat sesamanya sebagai ancaman yang harus ditaklukkan.

Berekonomi secara adil merupakan wujud partisipasi kita dalam karya penciptaan Allah dan panggilan hidup manusia untuk hidup layak "dalam kesatuan dengan yang lain sebagai ciptaan Allah". Sementara itu, ketidakadilan ekonomi merusakkan Gambar dan Rupa Allah. Manusia tidak boleh dikorbankan dalam pengejaran kepentingan ekonomi. Sebaliknya, manusia harus selalu "menjadi subjek, dasar dan tujuan" dari setiap kegiatan, termasuk kegiatan ekonomi. Dengan demikian, kegiatan ekonomi dapat mendorong dan memberdayakan setiap orang, terutama yang miskin dan lemah, untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama. Martabat luhur manusia yang diciptakan sesuai Citra Allah direndahkan oleh keserakahan untuk menumpuk keuntungan bagi diri sendiri sebanyak mungkin.

Aktivitas manusia akhirnya tertuju pada satu tujuan yaitu memelihara dan merawat dan mempertahankan hidup. Yesus tidak menolak kekayaan dan usaha memperbanyak kekayaan. Dia memuji hamba yang menggandakan talentanya dan mengecam hamba yang malas. Allah turut dimuliakan, apabila kita mengembangkan kekayaan alam dan bakat kita demi kesejahteraan bersama. Namun, Dia mengingatkan adanya bahaya kerakusan akan harta dan uang yang menghancurkan relasi antarsaudara. Hidup manusia tidak semata-mata diukur berdasarkan penumpukan harta kekayaan sebab manusia adalah ciptaan dengan banyak kebutuhan lain yang lebih luas daripada penumpukan harta kekayaan. Manusia dipanggil untuk "menjadi kaya di hadapan Allah".