Berteologi dengan Model Praksis

Oleh: Timotius J

Praktisi model praksis, selalu berjuang untuk menciptakan perubahan. Perubahan itu hanya mungkin terjadi melalui aksi nyata. Bagi model praksis, perkataan kurang efektif untuk menciptakan perubahan.

Budi Kleden memahami kontekstualisasi teologi sebagai refleksi dan pembicaraan sistematis mengenai Allah dalam relasinya dengan dunia dan sejarah dari dan untuk konteks tertentu. Kontekstualisasi teologi memiliki dua sifat, yaitu kritis dan transformatif. Di sini, teologi menjadi sebuah kritik terhadap ajaran dan praktik di dalam tradisi Gereja maupun di dalam konteks. Dengan mengindahkan konfrotasi kritis seperti itu, teologi bertujuan untuk mendorong masyarakat ke arah perubahan.[1]

Kontekstualisasi teologi telah menyuburkan tumbuhnya model-model teologi kontekstual. Salah satu model yang menarik adalah model praksis. Model Praksis memusatkan perhatiannya pada jati diri orang Kristen di dalam sebuah konteks, khususnya sejauh konteks itu dipahami dalam kerangka perubahan sosial.[2] Model praksis menekankan aksi berdasarkan refleksi di mana model ini tidak diilhami semata-mata oleh teks-teks atau tingkah laku klasik melainkan realitas masa kini dan peluang-peluang masa depan.

Dalam refleksi teologi dengan model praksis, setidaknya ada beberapa yang menjadi acuan pergumulan berteologi:

Tanggung Jawab Menghadirkan Kerajaan Allah

Leonardo Boff menegaskan bahwa Kerajaan Allah bukan sesuatu yang semata-mata rohani dan berada di luar dunia. Kerajaan Allah adalah keseluruhan dunia spiritual-material dan manusiawi, dunia yang diintegrasikan ke dalam tatanan Allah. Lebih jauh Kerajaan Allah berarti perwujudan kedaulatan dan kekuasaan Allah atas dunia yang gelap ini, yang senantiasa berada dalam perjuangan antara yang jahat melawan kekuatan baik.[3] Sementara itu, dalam Gaudium et spes, Kerajaan Allah dipahami sebagai suatu kabar bahagia. Kabar bahagia itu dihubungkan dengan pribadi Kristus sendiri yang datang untuk melayani dan untuk memberikan nyawanya menjadi tebusan bagi banyak orang.[4]

Semua orang Kristen terpanggil untuk mengambil bagian dalam upaya untuk menghadirkan Kerajaan Allah. Dalam kenyataan zaman sekarang, situasi dunia sangat jauh dari gambaran Kerajaan Allah, misalnya masih banyak orang yang menderita kemiskinan, ketidakadilan, harkat dan martabat manusia tidak ditempatkan pada posisi yang seharusnya, kerusakan lingkungan hidup dan lain sebagainya. Berahadapan dengan kenyataan seperti ini, orang Kristen terpanggil untuk membawa perubahan ke situasi dunia yang mencirikan Kerajaan Allah di tengah dunia. Kerajaan Allah bukalah sesuatu yang hanya berada jauh di masa depan, tetapi juga sesuatu yang mesti hadir dalam konteks kekinian. Dengan demikian, praktisi model praksis diajak untuk terlibat dalam tindakan nyata dan menemukan Allah dalam situasi dunia yang tidak bersabat itu.

Menghidupi dan Melestarikan Inkarnasi

Kristologi dewasa ini menerima Yesus Kristus sebagai penyelamat dan sebagai pusat dari penciptaan. Sejak semula, Allah telah merencanakan suatu dunia yang akan ditebus; bangsa manusia yang oleh kebebasannya dapat jatuh ke dalam dosa, namun kemudian akan ditebus dan dikuduskan melaui Yesus Kristus.[5] Dengan demikian, inkarnasi merupakan peristiwa rahmat di mana Allah hadir dalam diri Yesus untuk menebus manusia yang jatuh dalam dosa. Di sini, solidaritas terhadap manusia menjadi nyata di mana Allah rela mengalami penderitaan kaum miskin, penindasan oleh para penguasa agama dan negara, pengkhianatan seorang sahabat, penyiksaan dan kematian.

Dalam model praksis, teologi menjadi sangat peka akan solidaritas. Model ini selalu membuka mata, mendengar dan meangambil suatu langkah nyata berhadapan dengan situasi riil suatu konteks. Sebagaimana peristiwa inkarnasi terjadi tanpa paksaan, demikianpun praktisi model praksis terpanggil untuk secara bebas menjukkan solidaritasnya dalam tindakan nyata. Praktisi model praktis diajak untuk tidak tinggal dalam kenyamanan dunia, tetapi harus terjun dalam situasi dunia yang menantang, tangan siap berlumuran lumpur untuk perubahan dunia.

Dimensi Historisitas Penebusan

Carlos H Abesamis menegaskan bahwa data yang paling mendasar dalam Perjanjian Baru adalah proklamasi Yesus mengenai Kerajaan Allah. Yesus tidak menunjuk kepada diriNya sendiri, teapi menunjuk kepada Kerajaan Allah. Bagi Abesamis, istilah Kerajaan Allah mengacu kepada pemerintahan Allah sebagai raja dan kepada dunia baru, kemanusiaan yang baru yang diharapkan akan terpenuhi pada akhir zaman.[6]

Yesus mewartakan keyakinan-Nya bahwa dunia baru itu dan sejarahnya yang baru pasti terpenuhi juga di masa yang akan datang dan tindakan yang menyembuhkan, mengusir roh-roh jahat, mewartakan kabar baik bagi orang miskin merupakan manifestasi dari Kerajaan di masa depan itu. Dengan demikian, tema dasar pewartaan Kristus bersifat historis. Ia juga mewartakan apa yang masih akan terjadi pada masa depan sejarah itu dan apa yang sesungguhnya telah terjadi dalam tanda zaman pada zamanNya.[7]

Ketika orang terlibat dalam memperjuangkan perubahan pada zaman sekarang, maka ia mempertalikan dirinya dengan saat sekarang dari sejarah itu menuju apa yang disebut orang Kristen sebagai Kerajaan Allah. Di sini, Gereja mesti membarui dirinya di dalam sejarah kehidupan dewasa ini bila ingin menjadi bagian dari sejarah keselamatan. Karena itu, Gereja harus beralih dari dogma kepada sejarah, dari pemikiran metafisis ke pemikiran historis.

Praktisi model praktis sungguh menyadari dan menghayati aspek historis dari karya penebusan. Model ini selalu berangkat dari situasi dunia yang terjadi pada masa sekarang. Tetapi, masa sekarang itu selalu dilihat dengan masa yang akan datang. Dalam harapan untuk menciptakan dunia yang lebih baik, praktisi model ini memulainya pada saat sekarang sehingga Kerajaan Allah yang mencapai kepenuhan di masa depan sudah mulai terealisasi dalam konteks sekarang.

Menghindari Bahaya Verbalisme

Pengakuan iman kepada Yesus, dapat dengan cepat akan luntur. Banyak orang di sekitar Yesus yang percaya, tetapi tidak siap mengamalkan ajaran itu dalam praktik. Orang-orang yang percaya tanpa pengabdian berarti mereka tidak siap untuk membuat suatu pemutusan radikal dari hidup yang telah mereka kenal dan jalankan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak siap untuk dimerdekakan. Konsekwensinya, mereka tidak terbuka secara radikal bagi suatu tatanan baru.[8]

Praktisi model praksis, selalu berjuang untuk menciptakan perubahan. Perubahan itu hanya mungkin terjadi melalui aksi nyata. Bagi model praksis, perkataan kurang efektif untuk menciptakan perubahan. Renungan saleh tidak akan berdaya guna kalau tidak diaplikasikan dalam tindakan konkret. Di sini, dalam upaya untuk mencipatakan perubahan, para praktisi model prakstis berpegang pada keyakinan bahwa verbalisme bukanlah solusi yang tepat dan karena itu harus dijauhkan.

Kontekstualisasi teologi harus bisa menjadi pelita di tengah suramnya situasi dunia. Dengan model praksis, pergumulan teologis tertantang untuk bertanggung jawab dalam menghadirkan Kerajaan Allah ditengah dunia, menghidupi dan melestarikan peristiwa inkarnasi, menghayati dimensi historis penebusan Kristus dan akhirnya menghindari verbalisme dengan cara mengambil aksi nyata dalam memperjuangkan perubahan hingnga menggapai kedaban publik.


[1] Paul Budi Kleden, “Yang Lain” Sebagai Fokus Berteologi Kontekstual Di Indonesia dalam Jurnal Ledalero 9/2 (2010), pp. 158-159. [2] Stephen B Bevans, Model Model Teologi Kontekstual (Maumere: Ledalero, 2002), p. 127. [3]Hal di atas merupakan isi ajaran Yesus yang ditegaskannNya ketika tampil pertama kali di Sinagoga di Nazaret dan membacakan nas dari Kitab Yesaya 61: 1-2: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab ituIa telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk 4: 18-19, 21). Leonardo Boff, Yesus Kristus Pembebas (Maumere: LPBAJ, 1999), p. 55. [4] GE, Artikel 32. [5]Yanuarius Lobo, Diktat Kuliah Dogmatik III STFK Ledalero (2007/2008), p. 107. [6] Georg Kirchberger dan John Mansford Prior (ed.), Mengendus Jejak Allah, Dialog dengan Masyarakat Pinggiran, Vol. I,  (Ende: Nusa Indah, 1997), 451. [7] Ibid., p. 452. [8] Ibid., p. 416.