Tampilkan postingan dengan label Budi Kleden. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budi Kleden. Tampilkan semua postingan

Kontekstualisasi Teologi, Penguatan Jati Diri Budaya

Oleh: Timotius J

Kontekstualisasi teologi harus mendorong masyarakat ke arah perubahan menuju kehidupan yang lebih berkualitas. Kontekstualisasi teologi tidak sekedar melanggengkan konteks budaya atau tradisi Gereja.

Globalisasi menjadi term kunci untuk melukiskan konteks zaman ini yang ditandai oleh meningkatnya interkoneksi dan interdependensi. Kontekstualisasi teologi menjadi urgen dan merupakan imperatif teologis untuk menjawabi situasi dewasa ini. Dengan kata lain, perjumpaan antara yang lokal dengan yang global menjadi suatu hal yang biasa terjadi dewasa ini.

Dengan indah, John Prior melukiskan kenyataan kontekstual dewasa ini, demikian:

Sepasang anak muda menggalahi sampan lading mereka menuju kantor pos di Agats, sebuah kawasan pemukiman kecil yang terletak di wilayah rawa-rawa di pantai selatan Tanah Papua. Setelah mengikat perahunya yang terbuat dari batang kayu yang dilubangi itu, mereka naik merangkaki jalan setapak yang ditataki lapisan kayu. Setibanya di dalam kantor pos itu mereka mengirim sebuah pesan e-mail ke teman-temannya di Eropa. Lalu, mereka meluncur turun menuju sampan tadi dan menggalahinya pulang ke rumah mereka berupa bangunan lamin panjang.[1]

Tinjauan sosio-budaya atas globalisasi memperlihatkan wajah ganda. Di  satu sisi, globalisasi membuka peluang terciptanya pola kebudayaan yang homogen. Sementara itu, di sisi lain, globalisasi menuntut perjuangan untuk memperkuat identitas lokal. Jika efek samping pada sisi yang satu adalah penjajahan budaya, maka pada sisi yang lain dapat juga memupuk fanatisme budaya. Bahwa globalisasi telah berandil dalam humanisasi budaya, namun tidak dimungkiri juga bahwa globalisasi juga membawa serta proses dehumanisasi budaya. Baik penjajahan budaya maupun fanatisme semuanya akan berujung pada krisis jati diri budaya.[2]

Mengikuti defenisi teologi Anselmus dari Canterbury sebagaimana dikutip oleh Stephen B. Bevans teologi dipahami sebagai iman yang mencari pemahaman. Bertolak dari defenisi ini, ihwal melakukan teologi adalah “sesuatu yang terjadi dalam setiap dan semua orang yang berjuang untuk memahami imannya; ia adalah sebuah proses yang berlangsung di dalam hati dan pikiran dari setiap orang beriman yang tulus.”[3]

Singkatnya, melakukan teologi berarti usaha untuk memahami iman umat sendiri. Upaya tersebut merupakan suatu proyek yang berkanjang yang tidak pernah dapat tercapai sepenuhnya. Dan akhirnya, melakukan teologi tidak bertujuan untuk mencari kepastian, tetapi memperdalam iman sehingga pengetahuan dan kebijaksanaan yang dicapai adalah bukan kepastian rasional melainkan suatu pemahaman yang kokoh namun rendah hati dan tentatif.[4]

Term kunci lain dalam buku ini adalah (kedua) kontekstualisasi teologi. Istilah kontekstualisasi dicetuskan untuk menggantikan istilah indegenisasi teologi yang dianggap tidak memadai dalam upaya untuk mengindahkan konteks dalam berteologi.[5] Istilah ini diperkenalkan oleh Theological Education Fund WCC pada tahun 1972. Di sini, kontekstualisasi dimengerti sebagai upaya untuk mengindahkan konteks dalam berteologi.[6] Mengutip Bevans, lebih lanjut kontekstualisasi teologi dipahami sebagai upaya untuk memahami iman dipandang dari segi suatu konteks tertentu.[7]

Menurut Budi Kleden, ada dua sifat dasar dari kontekstualisasi teologi, yaitu kritis dan transformatif.[8] Kritis artinya, kontekstualisasi teologi haru bisa mempertimbangkan paham dan praktik dalam tradisi Kristen yang turut berperan dalam membentuk atau mempertahankan pola pikir, perilaku dan struktur yang tidak adil dalam masyarakat. Sementara transformatif berarti kontekstualisasi teologi harus mendorong masyarakat ke arah perubahan menuju kehidupan yang lebih berkualitas. Kontekstualisasi teologi tidak sekedar melanggengkan konteks budaya atau tradisi Gereja.

Selain teologi dan kontekstualisasi teologi, term kunci yang akan dijumpai adalah (ketiga) kebudayaan. Kebudayaan yang dipahami dalam penelitian ini merujuk pada GS 53 di mana dikatakan:

...istilah kebudayaan dimaksudkan segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat-pembawaan jiwa-raganya. Ia menguasai alam semesta dengan pengetahuan maupun jerih payahnya. Ia menjadikan kehidupan sosial, dalam keluarga dan dalam seluruh masyarakat lebih manusiawi melalui kemajuan  tata susila dan lembaga-lembaga. Akhirnya, di sepanjang masa ia mengungkapkan, menyalurkan dan melestarikan pengalaman-pengalaman rohani serta aspirasi-aspirasinya yang besar melalui karya-karyanya supaya berfaedah bagi kemajuan banyak orang bahkan segenap umat manusia.[9]

Dari kutipan di atas, kebudayaan dipahami sebagai jalan/mediasi untuk empat relasi manusia, yaitu dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, dengan alam dan akhirnya dengan  Tuhan.[10] Dengan kata lain, mengikuti Theological Advisory Commission FABC, kebudayaan adalah cara konkret memanusia di dalam suatu bangsa, kelompok atau negara tertentu.[11]



[1]John M. Prior, Berdiri Di Ambang Batas (Maumere: Ledalero, 2008), p. 152. [2]Manfred B. Steger, Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar (Yogyakarta: Lafadl Pustaka, 2005), pp. 54-57. [3]Stephen B. Bevans, Teologi Dalam Perspektif Global (Maumere: Ledalero, 2010), p. 51. [4]Ibid., pp. 52-57. [5]Robert J. Schreiter melihat bahwa istilah indegenisasi ini merupakan istilah yang jelas-jelas kolonialis dan karena itu tidak cocok untuk perspektif baru dalam teologi. Robert J. Schreiter, Op.cit., pp.11-12. [6]Ruy O. Costa (Ed.), One Faith, Many Cultures (United States Of America: Orbis Books and Boston Theological Institute, 1988), p. xii. Bdk. Prinsip-Prinsip Kontekstualisasi dalam http://misi.sabda.org/prinsip-prinsip-kontekstualisasi, diakses pada 20 september 2013. [7]Stephen  B. Bevans, Teologi Dalam Perspektif Global, Op.cit., p. 73. [8]Paul B. Kleden, “Yang Lain Sebagai Fokus Berteologi Kontekstual Di Indonesia” dalam Jurnal Ledalero, Vol. 9, No. 2, 2010, p. 159. [9]Dokumen Konsili Vatikan II, Op.cit., pp. 579-580. [10]Bdk. Ino Sutam, “Menjadi Gereja Katolik Yang Berakar Dalam Kebudayaan Manggarai” dalam Martin Chen dan Charles Suwendi (Eds.), Op.cit., pp. 172. [11]Theological Advisory Commission FABC, Op.cit., p. 24.