Tampilkan postingan dengan label covid-19. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label covid-19. Tampilkan semua postingan

Produktif dalam Komunitas Lokal

Oleh: Timotius J

Pandemi ini kiranya menyadarkan semua kalangan akan pentingnya pemberdayaan komunitas lokal. Muara dari pemberdayaan adalah masyarakat lokal akan selalu siap dan mampu berdiri tegak di tengah pandemi. Pemberdayaan diarahkan pertama-tama untuk memastikan bahwa komunitas lokal tetap bisa produktif meskipun ruang gerak dan akses dengan komunitas global dibatasi. 

Pada mulanya, dunia berempati dengan penduduk Wuhan-Cina yang bergulat dengan Covid-19 yang mematikan. Kemudian, Cina memang berhasil mengendalikan penyebaran virus di negaranya dan Wuhan perlahan-lahan bangkit. Namun, dalam tempo yang relatif singkat, Covid-19 menyebar ke sudut-sudut belahan bumi. 

Covid-19 mengafirmasi bahwa globalisasi berwajah ganda. Tak dapat dipungkiri bahwa penyebaran virus yang cepat juga karena arus globalisasi. Keterbukaan akses dan mobilitas yang sibuk dari satu negara ke negara lain telah membentangkan karpet merah bagi penyebaran virus ini dari satu kawasan ke kawasan lain. Pada saat yang sama, ketika peradaban global terancam Covid-19, berbagai kalangan menyerukan solidaritas global untuk bersama-sama menghadapi serangan Covid-19.

Konektivitas yang melampaui sekat dan serentak menyatukan ruang-ruang di belahan bumi telah menjadikan dunia sebagai satu komunitas global. Berbarengan dengan menguatnya arus globalisasi sebagai suatu narasi besar, ada kecemasan bahwa komunitas lokal sebagai narasi kecil digilas dan dilahap oleh narasi besar. Mesti disadari bahwa globalisasi dapat juga menjadi ancaman bagi kelangsungan nilai-nilai yang dihidupi komunitas lokal.

Kini, dunia berhadapan dengan kenyataan bahwa krisis atau resesi yang terjadi dalam komunitas global kerap kali diikuti dampak sistemik yang memperburuk keadaan komunitas lokal. Apalagi, komunitas lokal yang kecil kerap kali tunduk pada arah yang dibangun oleh komunitas global. Terkait hal ini, dipertanyakan pemberdayaan komunitas lokal di era globalisasi ini, apakah sudah berjalan sehingga dapat menjamin bahwa komunitas lokal dapat bertahan di tengah badai global. Atau, komunitas lokal kini sudah tidak berdaya dan hanya bergantung pada komunitas global untuk bisa bertahan. 

Negara-negara kini sibuk merancang bagaimana memulihkan keterpurukan ekonomi. Sementara itu, Covid-19 juga mengingatkan kita bahwa ruang gerak dan akses antarkomunitas bisa saja dibatasi sewaktu-waktu. Hal yang perlu diperjuangkan adalah bagaimana memberdayakan komunitas lokal agar tetap bertahan di tengah gempuran risiko sistemik dari keberadaan dunia dewasa ini sebagai satu komunitas global. 

Ketika akses-akses untuk keluar masuk dibatasi untuk menghambat laju dan melindungi warga negara dari serangan Covid-19, bumi ini seakan berhenti bergerak. Sementara itu, dalam hal-hal tertentu hidup manusia sudah terpola untuk bisa eksis dalam keterbukaan dan mobilitas. Tidak heran, jika negara-negara mulai membuka akses, meskipun dengan risiko tinggi terjadinya gelombang baru  lonjakan kasus Covid-19.

Pada era globalisasi ini, pengembangan komunitas didasarkan pada kualitas karakter persahabatan manusia yang melampui batas teritorial dan geografis. Komunitas yang dibangun berorientasi pada ketertarikan dan keahlian tertentu dari pada seputar lokalitas sebagaimana dikemukan Gusfield (dalam McMillan dan Chavis, 1986: 8). Gagasan ini memang lebih fleksibel bila komunitas hanya dibatasi sebagai “masyarakat setempat”. Namun, bahaya akan muncul ketika mengabaikan komunitas sebagai kelompok sosial yang setiap anggotanya sadar akan keanggotaannya dalam kelompok tersebut untuk memproduksi dan mengekspresikan budayanya dengan ciri lokalitas tertentu.

Pandemi Covid-19 berdampak pada menurunnya produktivitas anak bangsa. Karena itu, sejak bulan April pemerintah sudah menyalurkan bantuan sosial dan juga telah diperpanjang hingga Desesember 2020.  Menteri Sosial, Juliari Batubara, dalam rapat kerja bersama komisi VIII DPR, Rabu (24/6/2020), melaporkan kenaikan anggaran bantuan sosial pemerintah dari Rp 62,8 triliun menjadi Rp 106,5 triliun. 

Anak bangsa memang tidak sepenuhnya bergantung pada bansos pemerintah. Sebagai contoh, pada bulan Mei lalu viral di media sosial seorang ibu di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, menolak bantuan sosial pemerintah dengan alasan masih mampu memenuhi kebutuhan di tengah pandemi Covid-19.

Pandemi ini kiranya menyadarkan semua kalangan akan pentingnya pemberdayaan komunitas lokal. Muara dari pemberdayaan adalah masyarakat lokal akan selalu siap dan mampu berdiri tegak di tengah pandemi. Pemberdayaan diarahkan pertama-tama untuk memastikan bahwa komunitas lokal tetap bisa produktif meskipun ruang gerak dan akses dengan komunitas global dibatasi. 

Setidaknya, warga komunitas lokal diberdayakan untuk memiliki keterampilan cadangan yang sewaktu-waktu berguna untuk bertahan hidup. Selain itu, perlu juga lembaga perbankan menggalakkan literasi keuangan hingga ke tingkat komunitas lokal agar budaya menabung menjadi bagian dari hidup warga komunitas lokal. 

Sebagai suatu sistem, keberlangsungan komunitas global mengandaikan komunitas-komunitas lokal dapat bersinergi satu dengan yang lain. Namun, penguatan jejaring dengan komunitas global tanpa pemberdayaan komunitas lokal justru akan membahayakan komunitas global. Membangun komunitas global yang kuat tanpa penguatan komunitas lokal akan melahirkan kepincangan. 

Memang pada era globalisasi ini, membangun komunitas lokal yang kuat juga tidak bisa tanpa dihubungkan dengan sistem global. Interkoneksi dan interdependensi harus bermuara pada penguatan komunitas lokal. Mendewakan komunitas global dengan mengabaikan pemberdayaan komunitas lokal adalah upaya menggali lubang kuburan bagi komunitas lokal. 


Covid-19, Menuju Peradaban Baru?

Oleh: Timotius J

Covid-19 mendorong proses humanisasi yang mesti menjamin manusia untuk mandiri dalam mengambil keputusan personal. 

Ziarah peradaban manusia kini terbentur tembok Covid-19. Dan, siapa pun tidak bisa lari dari kenyataan ini. Tentang kenyataan ini, ada yang menyejajarkan dengan situasi Perang Dunia II. Pada Perang Dunia II, manusia dihantui oleh bom. Kini, siapa pun dihantui terinfeksi Covid-19. Virus ini menyerang siapa pun tanpa pandang bulu sehingga semua orang tengah berada dalam bayang-bayang maut. Hingga kini, belum ada pihak yang berani mengklaim bahwa tembok itu dapat dilantakkan.

Derap Perdaban

Untuk kesekian kali, dunia dilanda bencana dahsyat. Ribuan nyawa telah melayang dalam waktu yang relatif singkat dan jutaan jiwa sudah terinfeksi. Entahkah di ujung pandemi ini akan lahir peradaban baru? Paling tidak, Covid-19 telah memberi warna tersendiri bagi manusia dalam beberapa aspek kehidupan.

Pertama, dunia menampilkan perkawinan antara globalisasi dengan digdaya digitalisasi. Bermula di Wuhan-Cina, Covid-19 sedemikian mudah menyebar ke sudut-sudut belahan bumi. Terbukanya sekat dan intensitas mobilitas yang tinggi memungkinkan virus ini dengan cepat menyebar dari satu ruang ke ruang yang lain. Tidak mengherankan, negara-negara terpaksa membatasi mobilitas dan menutup pintu masuk.

Di sisi lain, virus ini telah melanggengkan digdaya digitalisasi. Perangkat digital turut menentukan bagaimana anak zaman beraktivitas. Ketika ruang gerak fisik dibatasi untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, banyak hal yang dapat dikerjakan dengan mengandalkan berbagai kemudahan perangkat digital. Meskipun gerak fisik dibatasi, namun era digitalisasi telah memungkinkan setiap orang untuk bergerak lintas ruang. Bahkan, berbagai aplikasi dan fitur digital juga memberikan peluang-perluag baru dan menjadi tumpuan bagi upaya pencegahan penyebaran Covid-19. 

Kedua, iman sebagai keputusan personal. Dalam hidup beragama, ruang sakral yang megah dan luas kini lengang dan sepi. Kebaktian setiap agama beralih ke optimalisasi perangkat digital daripada menghadiri kebaktian bersama di rumah ibadah. Dari ruang terpisah dan jarak yang berjauhan, masing-masing pemeluk agama berjuang untuk tetap khusuk beribadah dan mendengarkan siraman rohani dari pemimpin agama dengan bantuan perangkat digital. Persekutuan tidak hanya sebatas kedekatan jasmani, tetapi lebih pada persekutuan dalam iman. 

Dalam situasi seperti, iman seseorang benar-benar menjadi keputusan personal. Iman adalah suatu perjuangan pribadi dalam ‘keterasingan’ dari yang lain. Orang berjuang untuk menguatkan imannya melalui usaha pribadi yang difasilitasi oleh perangkat digital. Hidup religius benar-benar menjadi pilihan dan penghayatan personal.

Ketiga, solidaritas model baru. Sebagai makhluk sosial, dunia seakan berada dalam paradoks. Menerima kehadiran yang lain, tetapi mesti menjaga jarak. Tampak, setiap orang ‘dipaksakan’ oleh Covid-19 untuk memisahkan diri dari yang lain. Meskipun jarak fisik dibatasi, tetapi semua terpanggil untuk solid dalam gerakan solidaritas melawan gempuran pandemi ini. 

Bisa jadi Covid-19 telah menjebak setiap pribadi dalam solidaritas yang dibayangi kecurigaan. Panggilan untuk bersama-sama berjuang dalam solidaritas yang sama dihantui kecemasan terinfeksi. Tentu, hal ini tidak akan terjadi kalau setiap orang dengan kesadaran penuh mengedepankan pola hidup sehat dan didukung oleh sistem kesehatan yang memadai.

Keempat, mendengar rintihan ibu bumi. Bumi sebagai ibu yang memberi kehidupan menderita karena campur tangan manusia. Menanggapi kenyataan bahwa bumi tidak lagi menjadi hunian yang nyaman, muncul beragam pandangan yang menjelaskan relasi antara manusia dengan alam. Paling tidak, pandangan ekologis berangkat dari kesadaran (a) alam sebagai korban dari keserakahan sehingga manusia mesti bertanggung jawab dan/atau (b) demi keberlanjutan hidup manusia sendiri alam mesti dirawat. 

Ketika Covid-19 memaksa manusia untuk berdiam diri di rumah, para pemerhati lingkungan mengabarkan bahwa keadaan lingkungan membaik. Meski dibarengi dengan kecemasan bahwa situasi ini akan berbalik ketika wabah ini berlalu, paling tidak wabah ini telah sedikit memulikan derita ibu bumi. 

Covid-19 mengingatkan bahwa gerak-gerik manusia mesti mempertimbangkan keselamatan bumi. Rekayasa ilmiah tidak sepenuhnya mampu menguasai alam. Intervensi manusia atas alam hanya bersifat sementara dan berhadapann dengan daya alam yang tak terkendali. Covid-19 membawa pesan bahwa kesanggupan akal budi manusia tidak sepenuhnya dapat menguasai alam. Maka, memposisikan diri sebagai tuan atas alam perlu dilihat kembali.

Menjaga Peradaban

Beberapa bulan belakangan, peradaban berada dalam bayang-bayang Covid-19. Pengalaman masa lalu menunjukkan, wabah selalu diikuti dengan perubahan peradaban. Hingga kini, masa depan peradaban pascawabah ini belum dapat diprediksi. Peradaban mesti terus berjalan, maka setiap orang mesti terus berkarya meskipun gerak-gerik fisik dibatasi pada ruang tertentu.

Manusia adalah persona yang sadar dan bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Manusia sendiri mesti menjamin bahwa peradaban tidak tergerus oleh Covid-19. Dengan mengoptimalkan berbagai kemudahan-kemudahan digital, setiap orang kiranya terus berkreasi untuk menjamin keberlanjutan peradaban.

Covid-19 mendorong proses humanisasi yang mesti menjamin manusia untuk mandiri dalam mengambil keputusan personal. Karena itu, sistem pendidikan harus memungkinkan generasi bangsa memiliki ketahanan personal. Anak-anak bangsa kiranya memiliki ketahanan personal yang kuat sehingga tetap berdiri tegak dan terus berkreasi di tengah bencana yang  terjadi.

Proses humanisasi akan dapat berjalan mana kala politisi memperjuangkan pilihan dan kebijakan yang memastikan ketahanan dan keselamatan bersama. Agenda-agenda politik mesti berpijak pada kesadaran bahwa politik bertujuan untuk memastikan setiap orang dapat bertahan dan hidup dalam berbagai dinamika peradaban termasuk ketika dilanda bencana.

Dalam menghadapi bencana dan wabah yang tak mudah diprediksi, negara tentu tidak gagap dalam mengambil keputusan sehingga semua warga negara tidak tenggelam dalam kekhawatiran. Selain itu, negara memastikan warganya memiliki ketahanan personal untuk melewati berbagai bencana. Ketika negara menyangsikan ketahanan warganya,  taruhannya adalah keberlanjutan peradaban bangsa. 

Akhirnya, meskipun tidak ada bukti bahwa Covid-19 merupakan hasil tak terduga dari rekayasa Iptek, bagaimanapun, para ilmuwan mesti terpanggil untuk memastikan bahwa peradaban tak akan dilumat habis oleh Covid-19. Negara dan warganya tentu menjamin dan mendukung pengabdian ilmuwan yang berjuang menjaga dan menyelamatkan peradaban dari gempuran bencana apa pun termasuk Covid-19. 


Berdamai dengan Pandemi

Oleh: Timotius J

Hidup damai dengan pandemi kiranya juga mendorong semua pihak untuk merancancang bagaimana bisa hidup produktif dalam komunitas kecil tanpa ada mobilitas yang tinggi. 

Sejarah peradaban merekam bahwa pandemi dari masa ke masa seakan mengafirmasi gagasan Heidegger tentang keberadaan manusia sebagai keterlemparan di tengah dunia. Betapa tidak, nyawa manusia sedemikian rapuh di hadapan virus yang muncul tak disangkakan. Kematian banyak dalam sejarah pandemi dari maasa ke masa antara lain, wabah Yustianus/pes (tahun 541), Black death (tahun 1346-1353), pandemi Flu/Flu Spanyol (tahun 1918), dan Pademik HIV/AIDS (tahun 1981-sekarang).  Catatan sejarah pandemi dari masa ke masa ini mengingatkan siapa saja bahwa hidup manusia sedemikian rentan dan tanpa kewaspadaan, nyawa menjadi taruhannya. 

Sudah berbulan-bulan dunia berjalan bersama covid-19. Hingga bulan Juni ini, belum ada yang berani memastikan virus ini akan berakhir. Bahwa para ilmuwan terus berjuang untuk memukan vaksin, namun di antara ilmuwan sendiri belum memberikan jawaban yang sama dan pasti. Juga, belum ada klaim bahwa virus ini akan segera berakhir.

Sejumlah negara sudah mengambil jalan lock down untuk memutus dan mengendalikan penyebaran virus ini. Bebeberapa negara mengklaim berhasil dan otoritas negara perlahan membuka kembali pintu untuk bisa beraktivitas seperti sediakala. Misalnya, Spanyol yang menerapkan karantina paling ketat di Eropa selama tiga bulan mencabut keadaan darurat hari Minggu (21/06) dan membuka perbatasan bagi pengunjung dari hampir semua negara Eropa, tanpa harus melakukan karantina.  Negara lain, Amerika Serikat, tidak menerapkan lock down meskipun tingkat penularan virus di negara terbilang tinggi, yakni 23.000 kasus Covid-19 dalam satu hari. 

Sayangnya, lock down tidak sepenuhnya mengenyahkan virus ini dari muka bumi. James Gallagher menulis di BBC bahwa negara yang diyakini mampu mengontrol wabah ini kini khawatir pada kemunculan gelombang kedua. Kemudian, ia juga mengingatkan bahwa secara teoritis, kasus positif pada gelombang kedua bisa lebih banyak daripada yang pertama karena saat ini begitu banyak orang masuk kategori rentan.  Bahwa beberapa negara sudah membuka pintu untuk kembali ke pola hidup yang normal, namu tidak berarti bahwa situasi benar-benar pulih seperti sebelum merebaknya pandemi ini. Wuhan, titik awal dan bermula virus ini ditemukan, dinilai berhasil menerapkan lock down dan kini sudah kembali ke aktivitas normal tetap dihantui kecemasan kembalinya serangan covid-19. Demikian juga, negara-negara lain melonggarkan akses dengan tetap memberlakukan protokol kesehatan dengan ketat. 

Republik tercinta, Indonesia, tidak menenerapkan lock down. Beberapa daerah yang mengusulkan dapat merapkan PSBB sesuai dengan tingkat penyebaran virus ini. Pascapemberlakukan PSBB, virus ini belum juga sirna dan bahkan dibeberapa beberapa daerah tertentu jumlah pasien Covid-19 justru meningkat. 

Publik mengomentari bahwa ‘kegagalan’ meredam laju virus ini lebih disebabkan oleh kehendak lemah dan minimnya komitmen bersama anak bangsa sendiri. Sementara itu, ada juga yang berdalih bahwa diam di rumah tidak dapat memenuhi harapan untuk tetap produktif. Maka, jalan yang ditempuh adalah berdamai dengan situasi dan tetap berjuang di tengah ancaman virus ini demi dapur tetap mengepul dan perut tetap terisi.

Tentu, apresiasi positif untuk mereka yang berjuang tak kenal lelah menyelamatkan nyawa yang sudah di ambang maut dan meredam laju penyebaran virus ini. Masyarakat awam juga tentu sudah berjuang untuk membatasi dan menentukan skala prioritas dalam mobilitas dan beraktivitas di luar rumah. Tidak sedikit juga masyarakat yang penuh tanggung jawab dan taat menerapkan pola hidup sesuai dengan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan. Demikian juga sistem di ruang publik yang ditata sedemikian untuk menjamin setiap orang terhidar dari bahaya maut.

Belakangan ini, otoritas negara memilih untuk bisa hidup berdamai dengan covid-19. Akses terhadap fasilitas publik mulai dibuka. Tentu, hal ini dibarengi dengan kesiapan masing-masing otoritas dalam menyiapkan dan menyesuaikan banyak aspek yang menunjang kehidupan untuk bisa berjalan berdampingan dengan covid-19. Selain itu, masyarakat biasa pun kiranya sudah memahami dan siap untuk hidup berdampingan dengan virus ini. 

Hidup damai dengan pandemi kiranya juga mendorong semua pihak untuk merancancang bagaimana bisa hidup produktif dalam komunitas kecil tanpa ada mobilitas yang tinggi. Selain itu, kebijakan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi mesti juga berpijak pada kebijakan jangka panjang dan keberlanjutan melalui penguatan masyarakat dan komunitas lokal. Dampak bencana atau pandemi dialami oleh individu dalam komunitas setempat, dalam ruang-teritorial tertentu. Dengan demikian, permberdayaan komunitas, entah itu parokial maupun sektoral mesti digiatkan sehingga masyarakat tetap produktif dan berdiri tegak meskipun mobilitas dibatasi dan pada saat yang sama akses pemenuhan kebutuhan dasar antar wilayah terputus.