Baca Juga
Gerakan Mahasiswa Tahun 1998
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Gerakan mahasiswa 1998 telah membuahkan hasil dengan turunnya Soeharto dari takhta kepresidenan dan keberhasilan Sidang Istimewa MPR bulan November 1998. Peran yang dimainkan oleh mahasiswa tampak dalam membangun organisasi dan membuka jaringan, melakukan aksi demonstrasi, menuangkan gagasan reformasi melalui diskusi dan penerbitan pers mahasiswa.
Oleh: Timotius J
Pengantar
Universitas/Perguruan Tinggi merupakan salah satu institusi yang diandalkan dalam gerakan civil society di tanah air. Mahasiswa merupakan bagian penting dari civitas academika yang diharapkan dapat menampilkan suatu gerakan sosial. Bertolak dari kenyataan bahwa keberhasilan meruntuhkan rezim Orba dan datangnya Orde Reformasi tidak bisa dilepaskan dari gerakan mahasiswa 1998, maka artikel ini ingin merangkai gerakan mahasiswa 1998 dengan menggunakan analisa peran.
Analisa Peran dalam Gerakan Sosial
Gerakan sosial
merupakan salah satu tema menarik dalam kajian ilmu sosial, khususnya
sosiologi. Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, term gerakan
sosial biasanya digunakan untuk menunjukkan keanekaragaman yang luas akan usaha
bersama untuk membawa suatu perubahan dalam institusi-institusi sosial tertentu
atau menciptakan orde yang baru sama sekali. Tarrow menempatkan gerakan sosial
sebagai politik perlawanan. Dalam hal
ini, rakyat biasa dan kelompok-kelompok masyarakat yang lebih berpengaruh
menggalang kekuatan untuk melawan para elit, pemegang otoritas dan pihak-pihak
lawan lainnya. Politik perlawanan ini akan menghasilkan gerakan sosial manakala
didukung oleh jaringan sosial yang kuat dan digaungkan oleh resonansi kutural
serta simbol-simbol aksi sehingga mengarah ke interaksi yang berkelanjutan
dengan pihak-pihak lawan. Lebih lanjut, mengacu pada Giddens, gerakan sosial
tersebut diarahkan untuk mengejar kepentingan bersama dan dilakukan oleh
pihak-pihak di luar lingkungan lembaga-lembaga yang mapan.
Bertolak dari
pemahaman gerakan sosial seperti di atas, maka gerakan mahasiswa 1998 bisa
dilihat sebagai suatu bentuk gerakan sosial. Gerakan mahasiswa 1998 merupakan
suatu gerakan yang menuntut perubahan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Hal
ini dilatari oleh menderanya negara tercinta dalam krisis multidimensi yang
tidak mampu diatasi pemerintah Orba. Gerakan mahasiswa 1998 ini telah berhasil
menggulingkan rezim Orba dan melahirkan orde reformasi. Ada banyak kalangan
yang terlibat dalam gerakan tersebut, misalnya kelompok proreformasi,
masyarakat luas, dan kaum intelektual atau kaum akademisi. Banyak kalangan yang
menilai bahwa walaupun ada banyak ide dari kalangan-kalangan yang menginginkan
reformasi, namun reformasi tidak bisa berjalan tanpa demonstrasi mahasiswa
(baca: gerakan mahasiswa). Salah satunya adalah Prof Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif
yang menyebut gerakan mahasiswa sebagai kekuatan pendobrak. Ia mengatakan
demikian, “Mahasiswa merupakan kekuatan pendobrak. Walaupun ada Ide dari tokoh
pembaru, reformasi, tapi tanpa demonstrasi mahasiswa saya rasa tidak
berhasil….”
Dalam
menggambarkan suatu gerakan, sosiologi menyiapkan beberapa model analisa. Gerd
Theissen dalam upaya untuk memahami gerakan Yesus menggunakan tiga model
analisa, yaitu analisa peran, analisa faktor dan analisa fungsional. Dengan
menggunakan beberapa model analisa ini,
Gerd Theissen coba mengantar sidang pembaca pada sebuah pemahaman
sosiologis tentang jemaat Kristen Perdana.
Sebagaimana yang
telah dibuat oleh Gerd Theissen, maka untuk mendapatkan gambaran gerakan
mahasiswa 1998, di sini akan digunakan analisa peran. Menimbang banyaknya pihak
yang terlibat dalam gerakan mahasiswa 1998, penelitian ini hanya terkonsentrasi
pada peran kelompok mahasiswa. Sementara peran kelompok lain juga akan
disinggung sejauh berhubungan dengan peran yang ditampilkan kelompok mahasiswa.
Sasaran dari
analisa peran di sini adalah untuk mendapatkan gambaran pola perilaku yang
ditampilkan dalam gerakan tersebut.
Dalam kaitan dengan gerakan mahasiswa yang ditelaah di sini, pola
tingkah laku dibedakan atas dua, yaitu pola tingkah laku mahasiswa sendiri
(perilaku internal) dan pola perilaku elemen-elemen lain yang terlibat dalam
gerakan tersebut (perilaku eksternal).
Perilaku Internal
Perilaku internal
ini diarahkan untuk menggalang kekuatan dari rekan-rekan sesama mahasiswa
sehingga bersatu membuat gerakan. Dengan kata lain, perilaku internal ini
berhubungan dengan pola perilaku yang diarahkan untuk memperkuat barisan
kelompok mahasiswa sendiri dan juga dalam melakukan gerakan secara bersama-sama
oleh mahasiswa sendiri. Perilaku internal kelompok mahasiswa ini dapat terlihat
dalam hidup berorganisasi, pembentukan aksi publik, yaitu aksi demo
demonstrasi, pengorganisasian sarana
(pers mahasiswa), dan pembentukan ide bersama (diskusi).
Organisasi dan Jaringan
Berkaitan dengan
organisasi gerakan mahasiswa 1998, ada yang berpendapat bahwa gerakan mahasiswa
1998 tidak memiliki pemimpin, tanpa organisasi sentral, kurang menekankan pada
pentingnya koordinasi, tidak terstruktur serta tidak memiliki ideologi. Dengan
demikian, tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa praktisnya gerakan mahasiswa
sekarang 1998 bagaikan ayam kehilangan induk alias tidak ada yang memiliki
kualitas sebagai pemimpin mahasiswa.
Namun, hal ini tidak berarti bahwa gerakan mahasiswa 1998 tanpa organiasi.
Sebagaimana setiap gerakan umumnya memiliki organisasi, demikian halnya dengan
gerakan mahasiswa juga memiliki organisasi yang mengatur peran aktor dalam
gerakan.
Dalam pengamatan
Denny J A, salah satu faktor yang memicu adanya gerakan mahasiswa 1998 adalah
para pelaku dan pemimpin mahasiswa itu sendiri. Dia menyatakan demikian:
“Lingkungan hanya menyediakan lapangan yang memberikan kemungkinan bagi
tumbuhnya gerakan. Pada akhirnya adalah seorang pemimpin yang harus memanfaakan
lingkungan dan mengubah potensi menjadi aksi.”
Di sini, ia mengakui bahwa institusi penting gerakan mahasiswa 1998
adalah adanya senat mahasiswa yang menaungi satu universitas. Institusi ini secara
formal dan organisatoris memudahkan pemimpin mahasiswa menyatukan aksi
selingkungan universitas. Kemudian aksi
ini menjalan ke luar lingkungan universitas.
Apa yang diamati
oleh Denny J A ini juga diamati oleh Arie Sujito dkk. Mereka mengamati bahwa di
dalam kampus gerakan mahasiswa dimotori oleh kelompok radikal independen yang
secara konsisten menyuarakan demokratisasi dan dihargainya hak-hak sipil di Indonesia.
Kelompok inilah yang menyeret kekuatan formal-korporatif dalam kampus untuk
masuk dalam arus besar itu terutama Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT).
Selain itu, gerakan mahasiswa juga memiliki jaringan antarkota sehingga tuntutan politik di tingkat makro menjadi lebih homogen. Beberapa forum di tingkat kota seperti forum kota, forum senat mahasiswa, pers mahasiswa, dan beberapa pusaran lain di tiap-tiap kota ternyata bersinggungan baik taktis maupun strategis. Selain itu, aktivis mahasiswa juga membuka jaringan dengan dengan aktivis-aktivis lainnya, seperti LSM dan intelektual kritis. Menurut Denny J A, jaringan informal antara universitas ini rupanya sudah dibangun oleh aktivis mahasiswa pada periode sebelumnya.
Demonstrasi
Menurut Ensiklik
Populer Politik Pembangunan Pancasila, demonstrasi diartikan sebagai gerakan
bersama-sama untuk mempertunjukkan kehendak atau pendapat. Pihak yang melakukan
demonstrasi biasanya bertujuan untuk memprotes atau tidak setuju terhadap
keadaan atau tindakan suatu badan, golongan atau tindakan seseorang. Di sini, demonstrasi merupakan ekspresi suatu
relasi yang erat antara manusia dengan hati nuraninya di mana demonstrasi
terjadi ketika kebebasan dan otonomi individu tereliminasi oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab. Dengan
demikian, demonstrasi harus dibedakan dengan kerusuhan yang cendrung destruktif
sebagaimana yang terjadi di di berbagai tempat di Indonesia pada tahun
1996-1998.
Menurut catatan
Kompas, demonstrasi mahasiswa 1998 pertama kali dilakukan oleh mahasiswa
Universitas Indonesia pada tanggal 26 Februari di Kampus UI, Depok Jawa Barat
dengan substansinya adalah reformasi di bidang politik dan ekonomi dalam
mengatasi krisis. Dalam bulan-bulan berikutnya, demonstrasi mahasiswa kian
marak di seluruh tanah air. Puncak
demonstrasi mahasiswa adalah pendudukukan gedung MPR/DPR pada tanggal 18 Mei
hingga 22 Mei 1998 dan Soeharto akhirnya mengundurkan diri dari jabatan sebagai
presiden Republik Indonesia. Tentang peristiwa pendudukan gedung MPR/DPR,
Harian Kompas menulis sebagai berikut:
“Puluhan ribu mahasiswa dari puluhan perguruan tinggi di wilayah Jabotabek, selasaa (19/5) “menduduki gedung DPR/MPR. Mereka bukan saja memadati pelataran DPR, tetapi juga menaiki kubah gedung, memenuhi taman-taman, lorong-lorong, maupun rungan lobi. Ini merupakan demonstrasi terbesar yang dilakukan oleh mahasiswa selama 30 tahun terakhir di Gedung DPR/MPR”
Setelah Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan, demonstrasi mahasiswa masih berlanjut. Hal ini membuktikan bahwa demonstrasi yang mereka lakukan tidak semata-mata untuk menuntut Soeharto mundur, tetapi lebih merupakan seruan agar reformasi di segala bidang harus dilaksanakan. Sekurang-kurangnya demonstrasi ini dilakukan di Ujung Pandang, Solo, Medan.
Pers Mahasiswa
Pers mahasiswa merupakan salah satu
sarana yang digunakan oleh gerakan mahasiswa dalam memperjuangkan dan
mempublikan aspirasi reformasi di kalangan mahasiswa. Kala itu, ada begitu banyak pers mahasiswa yang
lahir seperti bergerak, XPOS, dan KdP di Jakarta, Gugat dan Turun Ke Jalan di
Yogyakarta, Teknokra dari Universitas Lampung, dan Suara Airlangga dan retorika di
Surabaya. Tentang kehadiran pers
mahasiswa ini, mingguan Time edisi 30 Maret 1998 menyebut pers mahasiswa
sebagai salah satu pendukung yang tak terduga di panggung unjuk rasa. Menurut
Time pers mahasiswa bahkan menjadi sasaran nara sumber bagi pers manca negara,
seperti Suara Airlangga (Unair) dan Bergerak (UI Depok).
Tentang kehadiran pers mahasiswa,
Aris Sumantyoko menyatakan bahwa memang pers mahasiswa bukan syarat gerakan
tetapi ketika ada ia benar-benar bermanfaat sebagai bagian penting dan tak
terpisahkan dari proses gerakan mahasiswa. Sebagaimana yang dikemukanan
oleh Melania Wahyu W (koordinator
buletin Gugat dari UGM) pers mahasiswa juga hadir untuk menampung ketidakpuasan
para aktivis mahasiswa tentang pemberitaan media massa umum tentang aksi
reformasi yang dinilai sangat singkat atau sangat kecil porsinya. Hal senada
juga diungkapkan oleh Fadihabaru, pemered Teknokra dari Universitas Lampung di
mana ia mengatakan: “Upaya kami adalah melaporkan berbagai kejadian nyata yang
tidak dilaporkan secara jelas oleh media massa umum. Kalau koran umum di luar
kampus tidak berani mengungkapkan yang sebenarnya, koran kampus mengupas secara
detail kejadiaannya.”
Penerbitan pers mahasiswa tidak bebas dari hambatan. Hambatan ini datang dari intervensi pihak luar yang masuk melalui tangan struktur organisasi kampus. Hal ini misalnya dialami majalah Arrisalah Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dana penerbitan majalah ini tidak dicairkan oleh pihak rektorat karena pada edisi sebelumnya Arrisalah memuat berita seputar kekayaan pejabat negeri. Padahal Dana untuk penerbitan ini berasal dari uang SPP mahasiswa sendiri.
Diskusi
Pada tanggal 18
April 1998 Senat Mahasiswa IPB menyelenggarakan dialog aksi mahasiswa
Indonesia. Pada kesempatan tersebut, hadir sekitar 4000 mahasiswa PTN/PTS di
Bogor dan juga utusan-utusan dari kota lain. Adapun tema yang diangkat dalam
kegiatan itu adalah “Kesamaan Visi dan Identifikasi Reformasi oleh Mahasiswa:
suatu Keharusan.”
Pembicara dalam
kegiatan itu berasal dari mahasiswa sendiri, seperti Nurdin dari Presidium SM
IPB, Cahyo Pamungkas (Ketua II badan eksekutif SM UGM Yogya), , Rama (ketua SM
UI) dan Fitrah (Sekum SM UI). Dialog ini di buka Purek III IPB Dr. Pallawarukka
sedang Pudek Famipa IPB, Rizaldi Boer, bertindak sebagai moderator dialog.
Pada kesempatan
tersebut, Cahyo Pamungkas menegaskan bahwa visi gerakan mahasiswa yang harus
diperjuangkan adalah perubahan. Dia mengatakan: “sekarang ini, kita tidak lagi
menyamakan visi karena visi kita (mahasiswa) sama , yaitu perubahan. Diam
berarti pengkianatan dan diam berarti tertindas.” Cahyono menolak ajakan
pejabat agar mahasiswa membuat konsep untuk perubahan politik maupun ekonomi.
Baginya: “Itu bukan tugas mahasiswa, kita mahasiswa mengingatkan kalangan
pimpinan pemerintahan terhadap dilema-dilema yang terjadi saat ini.” Sementara
itu, Rama menyatakan bahwa pemerintah hanya memberikan solusi-solusi yang
bersifat simbolis. Ia mengatakan;
“Desakan-desakan untuk melakukan reformasi dari mahasiswa dijawab dengan solusi
dialog. Bagi kita dialog bukan puncak perjuangan kita.”
Setelah Soeharto
mengundurkan diri dari tahta kepresidenan, gerakan mahasiswa melihata bahwa
Indonesia baru belum terwujud. Sementara itu, masyarakat umumnya sudah siap
untuk menghadapi Pemilu 1999 yang diyakini sebagai soluisi bagi terwujudakan
suatu perubahan ke arah kehidupan yang lebih demokratis dan beradilan sosial.
Sementara itu, ada kalangan mahasiswa terutama kelompok mahasiswa radikal yang
tidak sependapat di mana pemilu dapat membawa perubahan. Karena itu, gerakan
mahasiswa radikal mengadakan konsilidasi-konsidasi di antara mereka, membuat
koalisi-koalisi, diskusi-diskusi untuk mencari solusi agar negara bisa keluar
dari krisis.
Puncak dari konsolidasi itu adalah Rembug Nasional Mahasiswa Indonesia tanggal 28 Maret sampai dengan 1 April 1999 di Udayana Bali. Kegiatan ini diikuti oleh 101 orang dari 52 organisasi gerakan mahasiswa dari 16 propinsi yang menghasilkan empat butir resolusi. Keempat resolusi itu adalah pertama, pemilu yang diselenggarakan oleh rezim Habibie 7 Juni 1999 merupakan pemilu yang tidak demokratis, tidak jurdil karena dihasilkan oleh DPR hasil pemilu 1997. Kedua, tidak percaya pada pemilu yang akan diselenggarakan sebagai solusi atas krisis multidimensi yang melanda Indonesia. Ketiga, pembentukan sebuah pemerintah transisi yang berasal dan tak terpisah dengan arus besar gerakan rakyat dan bebas dari unsur-unsur yang sebelumnya menindas rakyat. Pemerintah transisi ini bebas dari intervensi militer atau demokrasi sipil. Keempat, mereka melihat adanya keyakinan politik di kalangan rakyat Aceh dan Irian Jaya untuk menentukan nasipnya sendiri bukan sekedar masalah disintegrasi dan juga menuntut referendum untuk Timor Leste.
Perilaku Eksternal
Perilaku eksternal yang dimaksudkan di sini adalah pola perilaku elemen-elemen lain yang terlibat dalam gerakan tersebut. Di sini, perhatian diarahkan pada pola perilaku yamg ditampilkan sebagai tanggapan terhadap kelompok mahasiswa. Di sini, perilaku eksternal dapat terlihat dalam Soeharto sebagai presiden, ABRI, kelompok proreformasi, dan masyarakat luas.
Soeharto
Berdahadapan
dengan krisis ekonomi yang berlum terpulihkan, mahasiswa dan kalangan lain
menuntut reformasi. Menanggapi seruan reformasi, Soeharto menyatakan bahwa
reformasi dapat dilaksanakan pada tahun 2003 ke atas. Walapun pada kesempatan berikutnya melalui
Alwi Dahlan dan R. Hartono, ditegaskan bahwa Soeharto selaku presiden pada
intinya membuka pintu bagi munculnya berbagai langkah reformasi, namun secara
inplisit tampak keengganan Soeharto untuk melakukan reformasi dengan segera
sesuai dengan tuntutan banyak kalangan. Soeharto berkilah, sebelum reformasi
harus dibuat persiapan dan penelitian yang mendalam.
Berhadapan dengan
Soeharto yang berusaha untuk
mepertahankan status quo ini, mahasiswa mengajukan tuntutan yang radikal, yakni
Soeharto harus mengundurkan diri. Hampir seluruh perguruan tinggi di tanah air
menyuarakan hal yang sama, Soeharto mengundurkan diri. Soeharto akhirnya mundur
jari jabatan sebagai presiden.
Pada saat-saat
akhir sebelum mengundurkan diri, Soeharto masih berjuang untuk mempertahankan
kekuasaannya. Berdasarkan penuturan Prof. Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif dalam
wawancara dengan Kompas, Soeharto agak berat untuk mengundurkan diri. Ma’arif
menuturkan demikian:
“Pak Harto sendiri tidak mengira akan terjadi perubahan yang cepat. Dia merasa kekuatannya masih besar dan solit. Bahkan pada tanggal 20 Mei malam dia tidak yakin akan jatuh. Pkl. 20.00 WIB dia masih mencoba mengutak-atik strategi pemerintahannya. Tetapi setelah Nurcholish Madjid yang diminta jadi ketua Komite Reformasi menolak tawaran itu, Pak Harto mulai ragu. Malam itu ABRI juga menyatakan tidak sanggup lagi mengamankan ditambah Harmoko memberi ultimatum agara mengudurkan diri dalam dua kali 24 Jam. Maka, mau tidak mau Pak Harto harus mengudurkan diri.”
ABRI
Pada masa Orba,
ABRI mempunyai fungsi pertahanan dan keamanan dan fungsi sosial politik. Dalam
kaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan, ABRI berurusan dengan soal
pertahanan dan keamanan di mana ABRI adalah alat negara yang diatur oleh
pemerintah. Sementara dalam kaitan dengan fungsi sosial politik, ABRI bukan
alat negara atau pemerintah tetapi lebih merupakan salah satu kekuatan sosial
politik yang ada dalam masyarakat. Di sini ABRI bertujuan untuk memajukan
kepentingan rakyat. Hal ini menjadi
nyata ketika ABRI memiliki wakil di DPR. Dengan demikian, ketika wacana
reformasi bergulir tidak heran kalau banyak kalangan yang menaruh harapan
sekaligus mempertanyakan peran ABRI.
Menanggapi seruan
kelompok proreformasi, maka pada pertengahan Maret 1998 Pangab Wiranto mengutus
para stafnya agar melakukan pendekatan degan tokoh-tokoh kritis dan mahasiswa.
Kassospol ABRI Letjen TNI Bambang Yudhoyono diutus menemui Amien Rais di Yogyakarta.
Sedangakan dialog dengan mahasiswa diagendakan berlangsung pada 4 April dengan
mediator ketua Ikatan Keluarga Besar Lasykar Arief Rachman Hakim, Djusril
Juhsan. Acara dialog yang diagendakan sedianya ini batal karena sebagian besar
mahasiswa menampik ajakan ABRI itu. Mahasiswa menilai bahwa ajakan itu hanya
tawaran sepihak dan belum ada kesepakatan mengenai format dialog. Selain itu,
mahasiswa juga menolak acara yang dinilai hanya seremonial, simbolis, pemuas
sementara dan tidak menyentuh esensi persoalan. Kalaupun mau berdialog,
mahasiswa lebih suka berdialog langsung tanpa lewat perantaraan tokoh lain.
Bahkan ada yang lebik suka bila berdialog langsung saja dengan Presiden
Soeharto.
Beberapa waktu
kemudian, dialog yang diselenggarakan oleh ABRI berhasil dilaksanakan. Namun,
ABRI tidak mengundang senat mahasiswa atau perwakilan dari Perguruan Tinggi
besar seperti UI, UKI, Jayabaya, Unpad Bandung, ITB, dan UGM. Berkaitan dengan
hal ini, Wiranto mengatakan demikian: “Tidak ratanya undangan terhadap SMPT ini
tidak ada nuansa politik. Tidak juga menganaktirikan dan menganakemaskan.
Tetapi semata-mata hanya untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan dialog. Saya
minta maaf kepada SMPT yang tidak kita undang dalam kesempatan pertama
ini.”
Sementara
Kassospol ABRI Letjen TNI Bambang
Yudhoyono mengatakan demikian: “Sebelumnya kita telah rundingkan dengan mereka
akan ada dialog seperti ini yang bebas dari isu penjinakkan gerakan mahasiswa
dan bebas dari formalita dan sebagainya. Sebagian yakni 70 % menyatakan akan
datang. 15 % mengatakan kami akan bicarakan dengan teman-teman. Kemudian 15
persen lainnya mengatakan tidak sepaham dengan ABRI lebih baik melakukannya
dengan presiden. Bahkan ada yang menyangsikan dialog itu sendiri.” Kepada yang
menolak itulah ABRI tidak memberikan undagan.
Dalam dialog
tersebut, menanggapi perkembangan di masyarakat, Wiranto menyatakan: “ABRI
sangat peka terhadap berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini.
Namun dalam menanggapinya, ABRI tetap bertumpu pada sapta marga.” ABRI pasti mendukung reformasi namun secara
gradual dan dalam kerangka konstitusional. Sementara menanggapi tuntutan
mahasiswa agar Presiden Soeharto mundur dari jabatannya, Wiranto menjawab bahwa
pemilihan Soeharto sebagai presiden sudah melalui suatu proses konstitusi yang
panjang. Namun, jika kemudian ada suara-suara dari elemen bangsa yakni
mahasiswa yang menginginkan seperti itu, maka masih ada elemen bangsa lain di
masyarakat yang tidak sependapat dengan mahasiswa.
Menanggapi sikap
ABRI dalam hubungan dengan reformasi, Prof. Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif
mengatakan bahwa secara pribadi memang ada yang mendukung reformasi, tetapi
secara korps sikapnya mengambang. Hal ini tampak dalam pernyataan kalangan ABRI
bahwa apa yang terbaik bagi rakyat, terbaik bagi ABRI. Namun, di pihak lain
mereka tetap setia kepada panglima tertinggi (pangti)nya. Padahal dalam
kenyataan Soeharto sebagai pangti sudah terputus komunikasinya dengan rakyat.
Dengan ini, tampaklah bahwa tidak mengherankan kalau ada yang berpendapat bahwa gerakan mahasiswa 1998 berhasil menumbangkan Orba tanpa campur tangan militer. Bahkan gerakan mahasiswa 1998 justru mendapat represi dari militer. Dalam berbagai demonstrasi tidak jarang terjadi bentrokan fisik dengan aparat, misalnya pada Sabtu (25/4) terjadi bentrokan antara aparat keamanan dengan mahasiswa di mana mahasiswa melempar batu ke arah aparat dan disambut tembakan peluru karet, bahkan gas air mata. Hal ini misalnya terjadi di Lombok, Medan, Jambi. Selama demonstrasi 1998, di pihak mahasiswa ada banyak yang menderita luka ringan dan serius. Bahkan demonstrasi 1998 juga telah menelan korban di pihak mahasiswa. Di perkirakan ada 15-20 orang mahasiswa yang meninggal. Berhadapan dengan sikap militer seperti ini, tidak mengherankan jika gerakan mahasiswa 1998 juga menyindir militer dalam lagu perjuangan yang mudah diikuti oleh massa, yaitu “sial-sialan aparat kayak preman”
Kelompok
Proreformasi
Reformasi yang
didengungkan oleh mahasiswa juga tidak terlepas dari ide-ide tokoh-tokoh
proreformasi. Ketika 10 ribu mahasiswa berkumpul di kampus UI Depok sehari
stelah presiden dan wapres disumpas, salah satu tokoh proreformasi Amien Rais memberikan siraman rohani kepada
mereka. Dalam kesempatan tersebut, dosen Fisipol UGM ini kembali menegaskan
ulitmatumnya, yaitu akan mengerahkan people power yang damai jika dalam tempo
enam bulan pemerintah yang baru terbentuk tak mampau mengatasi krisi ekonomi
dan moneter. Mayor jenderal (purn.)
Hariadi Darmawan membacakan pernyataan keprihatianan yang menuntuut pemerintah
segera mengatasi berbagai krisis. Sementara itu yang juga Inspektur Jenderal
Departemen Kehutanan itu mengakau tak taku
kehilangan jabatannya gara-gara aksi kprihatinan, “Harus ada yang
menyerukan kebenaran betapun pahitnya. Saya bukan superman tapi saya lebih
takut kepada Allah.
Sementara itu,
tokoh proreformasi yang lain, yaitu Prof Dr. Selo Soermardjan menganjurkan agar
para mahasiswa untuk meneruskan perjuangan dalam mewujudkan reformasi. Selain
itu, beliau juga mengingatkan para mahasiswa untuk ikut berperan aktif
menentukan kehidupan bangsa apalagi di tengah krisis (ekonomi). Baginya adalah
suatu kewajiban agar para mahasiswa untuk memberikan sumbangsihnya terutama
melalui intelektualitasnya.
Dukungan dari golongan proreformasi ini telah memberikan semangat besar kepada para mahasiswa untuk terus berjuang. Hasilnya aliansi civitas academica ala UI di mana para mahasiswa bergabung dengan dengan para dosen dan senior mereka menular ke berbagai Kampus dari UGM, Unhas, universitas airlangga. Bagkah rektor Universitas Dokter Soetomo Surabaya, Poncol Marjada, samapi menginstruksikan mahasiswanya ikut apel akbar keprihatinan.
Masyarakat Luas
Gerakan mahasiswa
juga tidak bisa dilepaskan dari masyarakat luas. Ketika Indonesia terjerembat
dalam krisis ekonomi, harga sembilan bahan pokok melambung. Pemerintahan
Soeharto tidak sanggup memulihkan keadaan ekonomi. Hal ini menimbulkan
ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah semakin besar.
Ketika gerakan
mahasiswa kian marak, masyarakat luas memberikan dukungan dan bersama-sama
menuntut reformasi. Dukungan dari masyarakat juga tampak dalam partisipasi kaum
relawan di mana para ibu sederhana menyiapkan nasi bungkus dan minuman bagi
para mahasiswa yang dikoordinir oleh Kalyanamitra. Di Solo, Paku Buwono XII dari kraton
Surakarta memberikan dukungan yang secara simbolis dengan memberikan sumbangan
sebesar 1.111.111 kepada gerakan mahasiswa yang memperjuangkan reformasi. Dalam
kesempatan tersebut, beliau mengatakan bahwa sumbangan ini merupakan simbol
persatuan masyarakat dan rakyat yang harus dipertahankan hingga perjuangan
selesai. Menyambut dukungan dari rakyat, Udin salah satu aktivis mahasiswa
mengingatkan para mahasiswa agar tidak terlena dengan mundurnya Soeharto.
Selain menerima
dukungan dari masyarakat luas, gerakan mahasiswa juga mendapat tantangan dari
masyarakat. Hal ini terjadi karena ada oknum-oknum yang memboncengi perjuangan
para mahasiswa. Peristiwa ini nyata ketika mahasiswa Jakarta menduduki gedung
MPR/DPR didatangi oleh kelompok pemuda dan masyarakat yang mengaku berasal dari
Tanjungpriok, Tanah Abang, dan pendekar Banten serta Bogor yang dipimpin oleh
Sumargono Ketual pelaksana harian KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas
Dunia Islam), Fadly Zon direktur Eksekutif institute forPolices Studies serta
Andreabto dari Humanika) Kelompok ini secara tegas mendukung Habibie dan
meminta mahasiswa segera bubar dari Gedung MPR/DPR.
Dalam peristiwa ini hampir saja terjadi bentrokan fisik, untung saja ada beberapa mahasiswa melakukan pendekatan dengan para pimpinan mereka. Di antara mahasiswa sendiri, mereka saling mengingatkan untuk menahan diri dan tidak emosi. Selain itu sejumlah pimpinan senat mahasiswa mengadakan negosiasi dengan Toto Tasmara yang menurut kabar yang diterima mahasiswa merupakan pinpiman massa.
Tekanan
Internasional
Dalam pengamatan Denny JA, Soeharto tampaknya agak moderat terhadap oposisi (baca: gerakan mahasiswa). Namun, Soeharto bersikap moderat karena dipaksa oleh tekanan organiasi dan komunikasi internasional. Misalnya, besarnya pengaruh IMF terhadap formulasi kebijakan ekonomi dan kebijakan politik pun totonan internasional akibat semakin canggihnya media komunikasi. Berita aktivis yang hilang secara cepat menyebar di internet AS dan dengan cepat membuat lembaga internasional di bidang hak asasi bereaksi. Jika pemerintah RI tidak semakin moderat, tekanan internasional akan semakin bertubi-tubi.
Penutup
Pola perilaku yang
ditampilkan oleh gerakan mahasiswa 1998 telah membuahkan hasil. Bagi Magnis
Suseno, dua keberhasilan yang diraih gerakan mahasiswa adalah turunnya Soeharto
dari takhta kepresidenan dan keberhasilan Sidang Istimewa MPR bulan November 1998.
Peran yang dimainkan oleh mahasiswa tampak dalam membangun organisasi dan
membuka jaringan, melakukan aksi demonstrasi, menungkan gagasan reformasi
melalui diskusi dan penerbitan pers mahasiswa. Gerakan mahasiswa ini mendapat
tanggapan dari banyak kalangan. Ada banyak kalangan yang memberikan tanggapan
atas pola perilaku.
Referensi:
Adolf Heuken, et al., “Demonstrasi” dalam Ensiklopesi Populer Politik Pembangunan Pancasila, Jakarta: Ichtiar Baru, 1984.
Riyanto, Armada, “Demonstrasi dan Hati Nurani” dalam Kompas, 21 Mei 1998.
Chalil, Munawar dan Tony Hasyim, “Reformasi Apa Itu” dalam Forum Keadilan, Edisi Khusus Ulang Tahun (April, 1998)
JA, Denny Menjelaskan Gerakan Mahasiswa dalam Kompas, 25 April 1998.
Kompas, 19 April 1998.
Kompas, 26 April 1998.
Kompas, 2 Mei 1998.
Kompas, 3 Mei 1998.
Kompas, 20 Mei 1998.
Kompas, 22 Mei 1998.
Kompas, 24 Mei 1998.
Kompas, 25 Mei 1998.
Kompas, 31 Mei 1998.
Kompas, 3 Juni 1998.
Putra, Fadilah, Heri Setiono, dkk., Gerakan Sosial, Malang: Averroes dan KID, 2006.
Rachman, M.Fadjroel, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat, Jakarta: Koekoesan, 2007.
Simanungkalit, Salomo, Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Kompas, 2002.
Sindhunata, “Mahasiswa Mendobrak Pintu Krisis” dalam BASIS, Thn. ke-47 (Mei-Juni 1998)
Singh, Bilveer, Dwifungsi ABRI, Jakarta: Gramedia, 1996.
Sujito, Arie, A. Wisnuhardana, dkk, “Tikungan Reformasi: Mahasiswa Kebingungan” dalam Basis, Thn. Ke-47 (Juli-Agustus, 1998).
Theissen, Gerd, Gerakan Yesus, Maumere: Ledalero, 2005.
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar